Sabtu, 24 Januari 2015

Tenanglah Ayah

Ayahku tak pernah banyak bicara. Ayah mengajarkanku banyak hal dengan cara yang kadang sulit untuk kupahami. Suatu ketika, aku tengah bermain bersama teman-teman sebayaku. Lalu, kulihat ayah tergesa mendekat dengan air muka yang merah membara. Tanpa banyak kata, aku tahu bahwa aku harus segera pulang. Kini, aku mengerti, bahwa ayah ingin aku lebih giat belajar, bukannya terus-terusan bermain. Beberapa waktu kemudian, aku merengek kepada ayah untuk segera membayar uang spp di bulan itu. Lagi-lagi, ayah hanya diam. Aku tak mengerti, aku mengira ayah tak peduli. Sampailah ayah memberikan uang untuk membayar spp bulan itu. Kini, aku mengerti, bahwa ayah mengajarkanku untuk tidak banyak berjanji. Tidak berjanji bukan berarti tidak peduli. Tibalah waktu pembagian raport. Aku tahu kalau aku mendapatkan ranking 1. Ayah tetap saja tidak bergeming. Aku selalu bangga saat mendapatkan ranking 1. Tidak sekali, dua kali aku jadi juara umum, tapi ayah selalu diam, seolah tak senang dengan keberhasilan anaknya. Kini, aku mengerti, ayah mengajarkanku tentang rendah hati. Karena rendah hati pula, aku pernah terperosok dalam, manakala aku tidak memilikinya. Begitu seterusnya, ayah mengajarkan banyak hal padaku, dengan cara yang sulit kupahami. Sampai suatu hari, menjelang saat-saat terakhir beliau, hanya ada aku dan ayah saja. Ayah kembali diam. Raut mukanya tenang, seakan tugasnya mendidikku sudah tuntas. Kini, setiap kuingat saat-saat terakhir beliau, aku mengerti, beliau sedang mengajarkanku tentang tanggung jawab... Ayah, terima kasih untuk segala bekal yang telah engkau berikan. Maafkan aku, karena kebodohanku, aku tak sanggup memahami ilmu yang engkau ajarkan. Nanti ayah, saat ayah kembali diam di sana, atas izin Allah, aku akan bersaksi untukmu, bahwa engkau telah mendidikku dengan benar. Ya Allah, ampunilah aku dan kedua orang tuaku dan sayangilah kedua orang tuaku sebagaimana mereka telah mendidikku sewaktu aku kecil.

Apa Kabar Indonesia?

Adakah teman-teman sekalian yang menyimak kegaduhan politik di televisi akhir-akhir ini? Bukan, saya bukannya ingin membahas perihal politiknya, namun pelajaran yang bisa dipetik dari peristiwa yang kini bukan lagi sebuah fenomena itu.

Jika diperhatikan, sudah sejak lama Indonesia ribut dengan urusan sendiri. Hal apapun bisa dengan mudahnya menjadi sumber keributan. Sehingga, jangankan di level internasional, dalam regional Asean saja Indonesia kian tertinggal. Nah, melemahnya Indonesia inilah yang akan saya bahas.

Lemah merupakan gejala atau pertanda umum saat kita sedang sakit. Bisa dikatakan, Indonesia sudah sakit-sakitan. Setidaknya ada dua muara dari sakit, kesakitan itu bisa jadi akan sembuh atau membawa kepada kematian, kehancuran, kebinasaan, dll.

Karena kali ini kita membahas tentang Indonesia, saya akan memberikan dua uraian tentang 2 jenis kondisi suatu negara, menurut Al-Qur'an dan Hadits.

Dalam Al-Qur'an surat Saba ayat 15, ciri-ciri negara yang baik (baldatun thayyibah) adalah:
- daerahnya strategis
- tanahnya subur
- masyarakatnya makmur, dan
- pemerintahannya adil

Mari kita renungkan bersama, apakah saat ini Indonesia sudah memenuhi semua ciri-ciri sebuah negara yang thayyib?

Berikutnya, inilah beberapa tanda-tanda bahwa sebuah negara sedang menuju ke sebuah kehancuran:
- diangkatnya pengetahuan agama
- didukungnya sifat bodoh terhadap agama
- diminumnya minuman keras secara terang-terangan, dan
- dilakukannya perzinaan secara meluas dan terang-terangan
(HR Bukhari juz 1 hal. 28).

Sekarang kita bandingkan, negara kita ini bercirikan negara yang thayyib atau sedang menuju kehancuran?

Dalam hadits yang lain, diriwayatkan, sebuah negara memenuhi kriteria untuk mendapatkan azab dari Allah jika:
- zina merajalela dan
- riba merajalela
(HR Hakim).

Sudah rahasia umum bahwa perzinaan telah begitu merajalela di sekitar kita. Bahkan, pelakunya pun tak lagi malu-malu. Ada yang menggunakan hasil perzinaan untuk mendongkrak popularitas dan mendapatkan materi. Ada yang menceritakan perihal zina dalam sebuah lagu, yang mana menjadi lagu-lagu tentang zina ini kerap menjadi hits di kalangan masyarakat. Na'udzubillah...

Lalu, riba. Riba adalah dosa besar. Betapa besar dosa riba, bisa dipahami dari hadits-hadits berikut,
“Riba ada 73 pintu. Yang paling ringan adalah seperti orang yang berzina dengan ibu kandungnya.” (Sunan Ibnu Majah, 2275, Al-Mustadrak, 2/37 dan Syu’abul Iman, 5519),

“Sesungguhnya uang satu dirham yang didapat oleh seseorang dari riba itu lebih besar dosanya di sisi Allah dibanding 28 kali dosa zina yang dilakukan orang tersebut,”(HR. Ibnu Abid Dunya dalam Ash-Shamtu, 175, dan Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman,5519).

Dan beberapa hadits lainnya dan ayat-ayat Al-Qur'an yang dengan tegas mengharamkan riba. Sama saja antara pemakan riba, pemberi riba dan saksi-saksi yang terlibat dalam transaksi riba tersebut.

Dalam kehidupan sehari-hari, praktek riba dapat dijumpai dalam:
- pengadaan rumah dengan sistem KPR konvensional
- kredit kendaraan bermotor melalui leasing/finance
- kartu kredit, dll.

Sudah sedemikian merajalelanya zina dan riba di sekitar kita. Tantangan kita adalah tetap berpegang teguh kepada perintah Allah Swt dan meneladani akhlak Rasulullah saw. Sebagai generasi penerus, kita wajib menjadi agen-agen perubahan menuju peradaban yang mulia. Manfaatkan kemampuan kita masing-masing ke dalam lini-lini kehidupan di sekitar. Suarakan kebenaran yang hakiki. Karena semua hal akan dimintai pertanggungjawaban. Kita tak boleh diam saja atau bahkan menjadi pelaku aktif hal-hal yang mengantarkan suatu negara ke dalam kehancuran.

Pilihan ada di tangan kita, apakah kita akan menjadi partisipan negara menuju kehancuran atau menjadi generasi yang peduli dan mulia yang akan menghantarkan Indonesia menuju Baldatun Thayyibah.