Jumat, 27 Februari 2015

Maaf dari 600 km

Aku termasuk orang yang perasa. Mungkin terbentuk dari kejadian-kejadian yang telah kualami. Namun, tak disangkal, benarlah pesan Rasulullah, jika banyak tertawa akan mematikan hati.

Hari ini, setidaknya ada 5 orang yang menyatakan di hadapanku, "Kayaknya lagi seneng nih, ketawa-ketawa mulu." , begitu kata mereka. Entah berapa lagi yang memperhatikanku tertawa, yang memilih larut dalam imajinasi mereka masing-masing. Sempat terbersit, aku tak biasanya banyak tertawa seperti ini...

Menjelang sore, ada telepon dari ibuku yang ada di Jogja, sekitar 600 km sebelah timur dari tempatku berdiri. Suara ibu berat, memang sejak beberapa hari yang lalu ibu sakit. Namun, kemarin, ibu bilang kalau ibu sudah sehat. Aku tahu ibu belum sehat, ibu tak bisa membohongiku. Seorang ibu tak pernah mungkin berkata apa-apa yang akan membuat anaknya gusar. Suara berat ibu mulai membuatku menyesal terlalu banyak tertawa hari ini.

Lalu, ibu mulai menyampaikan maksud beliau menelepon. Rupanya ibu sedang ada keperluan. Aku tak langsung menjawab, mencoba kompromi. Ah, anak macam apa aku ini? Semestinya aku tak perlu kompromi. Jika sampai ibu menyatakan langsung kebutuhannya, itu tandanya ibu sudah tidak ada pilihan lain yang tersedia saat ini. Seorang ibu tak pernah rela mengusik kesenangan anaknya. Aaaarggghh!!! Seharusnya aku langsung mengerti. Benarlah hatiku menuju mati hari ini, digerogoti tawaku sendiri.

Tidak sampai disitu saja. Kemudian ibu mengirim pesan singkat, yang isinya, "Mama merasa, selama ini kakak begitu besar perhatiannya kpd keluarga dan begitu besar bakti kakak kpd Mama, demi Mama dan keluarga sampai2 banyak yg dikorbankan. Kak, tetaplah yakin dan percaya Allah Maha Segalanya, pasti akan diblasNya..."

Haaaaaaa, air mataku tak terbendung. Maafkan aku, Bu. Aku masih belum mampu selalu ikhlas. Aku belum mampu mewujudkan do'a orangtua dalam namaku. Harusnya aku tahu bahwa kepiluan yang engkau simpan jauh lebih banyak dari yang engkau ungkapkan, Bu. Maafkan aku, Bu.

Selasa, 24 Februari 2015

Keadilan Ilahi yang Sempurna

Seseorang yang merenungkan secara seksama perbuatan-perbuatan Allah 'Azza wa Jalla niscaya melihatnya didasarkan pada keadilan. Ia akan menyaksikan hukuman adil disiapkan buat orang yang akan memperolehnya, sekalipun masih menunggu waktu yang telah ditetapkan. Dengan demikian, seseorang yang belum memperoleh hukuman tak boleh terpedaya lantaran hukuman kadang memang tak langsung diberikan seketika.

Salah satu dosa terparah yang hukumannya telah disiapkan adalah terus-menerus mengerjakan dosa, lalu pelakunya diberi kemampuan untuk beristighfar. Lalu ia mendirikan sholat dan mengerjakan berbagai macam peribadatan sambil berprasangka bahwa amalan-amalannya ini akan memberinya manfaat.

Sedangkan makhluk Allah yang paling terpedaya adalah orang yang mengerjakan sesuatu yang dibenci Allah tetapi dia meminta kepada-Nya sesuatu yang disenanginya, seperti yang disebutkan dalam hadits,

"Orang yang lemah adalah orang yang memperturutkan keinginan hawa nafsunya namun dia mengharapkan banyak hal dari Allah. "
(HR At-Tirmidzi 2459)

Salah satu perkara yang wajib diwaspadai seseorang yang berakal adalah datangnya hukuman. Sebaliknya, setiap orang yang mengerjakan suatu kebaikan atau meluruskan niat, kami persilakan menanti balasannya yang baik, meskipun ia tidak segera mendapatkannya,

"Sesungguhnya barangsiapa yang bertakwa dan bersabar, maka sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik."
(QS Yusuf: 90)

"Orang yang tidak mau mengarahkan pandangannya ke bagian-bagian tubuh wanita yang merangsang akan dibalas Allah dengan suatu kelezatan iman yang dirasakannya di hati."
(HR Ath-Thabrani 10362)

Oleh karena itu, hendaklah orang yang berakal mengetahui bahwa neraca keadilan tak bisa dicurangi.

Minggu, 22 Februari 2015

Kecerdasan Nabi Nuh as, Sang Pemberi Peringatan

Jika pada kesempatan sebelumnya kita telah mempelajari tentang Kecerdasan Nabi Adam as sebagai seorang pembelajar, yang senantiasa menyempurnakan dirinya, kali ini kita akan mempelajari tentang Kecerdasan Nabi Nuh as sebagai Pemberi Peringatan.

Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, "Berilah kaummu peringatan sebelum datang kepadanya azab yang pedih."
(QS Nuh: 1)

Perbedaan kecerdasan kedua Nabi tersebut terletak pada orientasinya. Jika orientasi sang pembelajar adalah menyempurnakan dirinya, maka orientasi sang pemberi peringatan adalah menyempurnakan orang lain. Sang pemberi peringatan tentu berbeda dengan sang penceramah. Sang pemberi peringatan didorong oleh rasa kasih sayang, yang mengingatkan kaumnya karena ingin berbagi kebahagiaan, itulah sebabnya beliau tidak meminta upah. Sedangkan sang penceramah sering melupakan faktor kasih sayang ini dan lebih banyak mengedepankan rasa lebih tahunya. Bukan berarti semua penceramah bersifat demikian, masih banyak yang memiliki dorongan kasih sayang dalam menyampaikan ceramahnya.

Untuk lebih jelasnya, mari kita telisik sebagian kecerdasan Nabi Nuh as, sang Pemberi Peringatan:

1. Kemampuan untuk Membaca Karakter Masyarakatnya
Sebagai seorang pemberi peringatan yang penuh kasih sayang, tentu beliau memiliki kemampuan untuk mengenali setiap detail karakter kaumnya. Kecerdasan ini tersirat dalam kisah berikut,

* Nuh berkata: "Ya Tuhanku sesungguhnya aku telah menyeru kaumku malam dan siang,

* maka seruanku itu hanyalah menambah mereka lari (dari kebenaran).

* Dan sesungguhnya setiap kali aku menyeru mereka (kepada iman) agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jari mereka ke dalam telinganya dan menutupkan bajunya (kemukanya) dan mereka tetap (mengingkari) dan menyombongkan diri dengan sangat.
(QS Nuh 5-7).

Kisah di atas bukanlah keluhan, melainkan sebuah deskripsi singkat dari Nabi Nuh terhadap karakter kaumnya. Tersirat bahwa saat Nabi Nuh as menyeru kepada kaumnya, beliau juga memperhatikan karakter psikologi dari kaumnya. Hal ini penting, karena tanpa memahami karakter kaum yang diseru, maka seorang pemberi peringatan akan mudah jatuh dalam kekecewaan dan kebingungan manakala seruannya tidak mendapatkan reaksi seperti yang dibayangkan. Untuk memahami karakter suatu kaum secara akurat, tentulah seorang pemberi peringatan memiliki rasa kasih sayang yang besar kepada kaumnya. Rasa kasih sayang yang membuat beliau menginginkan yang terbaik bagi kaumnya.

2. Kemampuan untuk Menyampaikan Nasehat Secara Baik
Kemampuan menyampaikan nasehat di sini berbeda dengan kemampuan menyusun nasehat. Cobalah simak uraian berikut,

* Malahan kaum Nuh itu berkata, "Dia cuma membuat-buat nasehatnya saja". Katakanlah, "Jika aku membuat-buat nasehat itu, maka hanya akulah yang memikul dosaku, dan aku berlepas diri dari dosa yang kamu perbuat."
(QS Hud 35).

Nasehat-nasehat yang Nabi Nuh as berikan kepada kaumnya adalah nasehat yang akurat. Akurat karena berasal dari Allah dan bukan rekayasa. Nasehat yang lahir dari buah pemahaman karakter psikologi kaum Nabi Nuh as sendiri.
Nasehat yang baik haruslah disampaikan dengan baik pula. Perhatikanlah bagaimana kemampuan Nabi Nuh as dalam menyampaikan nasehatnya dengan halus dan indah,

* maka aku katakan kepada mereka, "Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, -sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun-,

* niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat,

* dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.

* Mengapa kamu tidak percaya akan kebesaran Allah?

* Padahal Dia sesungguhnya telah menciptakan kamu dalam beberapa tingkatan kejadian.

* Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah menciptakan tujuh langit bertingkat-tingkat?

* Dan Allah menciptakan padanya bulan sebagai cahaya dan menjadikan matahari sebagai pelita?

* Dan Allah menumbuhkan kamu dari tanah dengan sebaik-baiknya,

* kemudian Dia mengembalikan kamu ke dalam tanah dan mengeluarkan kamu (daripadanya pada hari kiamat) dengan sebenar-benarnya.

* Dan Allah menjadikan bumi untukmu sebagai hamparan,

* supaya kamu menjalani jalan-jalan yang luas di bumi itu."
(QS Nuh 10-20).

Dalam nasehatnya, Nabi Nuh as ingin menyentuh hati kaumnya agar menyadari betapa banyaknya rahmat Allah Swt yang dianugerahkan kepada mereka.
Jika direfleksikan pada kehidupan kita, betapa Allah telah memberi segala sesuatu yang dibutuhkan manusia tanpa manusia memintanya. Namun kasih sayang Allah tidak mendapatkan balasan yang sesuai dari makhlukNya. Kita masih saja mengabaikan perintah dan larangan Allah. Padahal jika kita mau dan mampu bertaqwa kepada Allah, janji Allah tak akan pernah meleset. Tapi kita terkadang terlalu lucu dengan tidak meyakini janji Allah. Kita akan lebih tergerak jika ada orang yang menjanjikan kita uang 1 Milyar, jika kita mau mengikuti kemauannya.

(( Mengapa kita tidak percaya akan kebesaran Allah? ))

3. Kemampuan untuk Menghadapi Sikap Permusuhan
Nabi Nuh as tahu bahwa kaumnya akan memusuhi dirinya karena peringatan yang beliau sampaikan. Ini adalah kecerdasan lain yang dimiliki Nabi Nuh as. Permusuhan kaum Nuh pun bukan main-main. Sikap permusuhan itu sungguh nyata dan serius,

* Mereka berkata, "Sungguh jika kamu tidak (mau) berhenti hai Nuh, niscaya benar-benar kamu akan termasuk orang-orang yang dirajam."
(QS Asy-Syu'ara 116).

Kita semua tahu bahwa Nabi Nuh tinggal bersama kaumnya selama 950 tahun. Bayangkan apa jadinya jika Nabi Nuh as tidak cakap dalam menghadapi sikap permusuhan dari kaumnya?
Ketika permusuhan kaum Nuh terhadap beliau sudah tak bisa diredam dan dikhawatirkan akan membahayakan orang-orang yang mengikuti ajaran Nabi Nuh as, maka dengan kecerdasan dalam menghadapi sikap permusuhan, beliau menyerahkan urusan kaumnya kepada Allah Swt,

* Sebelum mereka, telah mendustakan (pula) kaum Nuh, maka mereka mendustakan hamba Kami (Nuh) dan mengatakan, "Dia seorang gila dan dia sudah pernah diberi ancaman).

* Maka dia mengadu kepada Tuhannya, "Bahwasanya aku ini adalah orang yang dikalahkan, oleh sebab itu menangkanlah (aku)."
(QS Al-Qamar 9-10).

Kemudian Allah Swt pun memerintahkan Nabi Nuh as untuk membuat bahtera,

* Nuh berdoa, "Ya Tuhanku, tolonglah aku, karena mereka mendustakan aku."

* Lalu Kami wahyukan kepadanya, "Buatlah bahtera di bawah penilikan dan petunjuk Kami, maka apabila perintah Kami telah datang dan tanur telah memancarkan air, maka masukkanlah ke dalam bahtera itu sepasang dari tiap-tiap (jenis), dan (juga) keluargamu, kecuali orang yang telah lebih dahulu ditetapkan (akan ditimpa azab) di antara mereka. Dan janganlah kamu bicarakan dengan Aku tentang orang-orang yang zalim, karena sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan."
(QS Al-Mu'minun 26-27).

Uraian di atas menunjukkan bahwa meskipun kasih sayang Nabi Nuh as begitu besar kepada kaumnya, namun ketika sikap permusuhan dari kaumnya sudah membahayakan keselamatan beliau dan para pengikutnya, beliau memutuskan untuk memohon perlindungan kepada Allah Swt. Nabi Nuh as mempertimbangkan keselamatan para pengikutnya dan kelestarian alam semesta. Untuk itu sudah saatnya kaum yang mendustai Nabi Nuh as diberikan hukuman yang setimpal atas kezaliman dan kerusakan yang mereka lakukan selama ratusan tahun. Nabi Nuh as mampu melihat secara jernih jalan kebenaran sehingga mengikhlaskan apapun yang tidak sejalan dan bahkan memusuhi jalan kebenaran.

Demikianlah beberapa kecerdasan yang dimiliki Nabi Nuh as sebagai seorang pemberi peringatan. Mudah-mudahan kita mampu meneladani kecerdasan beliau untuk menyuarakan kebenaran dengan penuh kasih sayang.

Aamiin...

Selasa, 17 Februari 2015

90 Hari Menghimpun Cinta

Tak biasanya jalan ini mengalami kemacetan. Namun, sore ini jalan yang sehari-hari kulalui pulang-pergi untuk bekerja, mengalami tumpukan kendaraan yang mengular. Setelah kutanyakan kepada sesama pengendara di sekitar lokasi, barulah kutahu, kemacetan ini disebabkan karena ada evakuasi terhadap sebuah kendaraan berat yang terperosok ke luar jalur jalan. Karena badanku agak letih, aku putuskan untuk menepi sejenak. Sambil beristirahat, aku mengirim pesan singkat kepada Merida, istriku.

"Bunda, hari ini Ayah agak terlambat sampai rumah. Jalanan macet, ada kecelakaan tunggal. Miss you, Bunda."
Begitulah kiranya pesan singkatku kepada Merida. Sepertinya ia sedang mengerjakan sesuatu, karena pesanku belum dibalasnya.

Lalu, ingatanku melayang pada saat kami belum menikah. Tepatnya beberapa bulan sebelum aku menemui ayah Merida. Saat itu, Merida meminta kepastian padaku, kapan aku akan menemui ayahnya sebagai bukti keseriusanku. Aku agak terkejut. Bukan, bukannya aku tak serius dengan Merida, namun saat itu keadaan dan situasi yang kualami, membuatku belum mampu menetapkan kapan akan menikah secara pasti.
Aku bukanlah orang yang memiliki target spesifik dalam semua hal. Selama ini, aku hanya berusaha melakukan sesuatu dengan konsisten dan sesuai. Namun, berbeda sejak aku mengenal Merida. Ia mendorongku untuk mulai menata ulang tujuan hidupku. Merida mampu menggerakkan sendi-sendiku yang tertidur selama ini. Lebih jauh lagi, tak hanya sekedar bergerak, namun menuju sasaran yang tepat. Aku sangat bersyukur bisa mengenal Merida. Aku bahkan tak pernah membayangkan bisa menjadi suaminya. Saat Merida menanyakan kapan aku akan menemui ayahnya, aku diam beberapa saat. Aku pejamkan mata, mencoba menentukan jawaban. Lalu, kujawab, 3 bulan lagi aku akan menemui ayahnya.

Apa?? 3 bulan??? Apa aku sudah gila? 3 bulan itu waktu yang singkat. Bisa apa aku dalam 3 bulan? Aku tak mengerti kenapa saat itu aku memberikan waktu 3 bulan bagi diriku sendiri untuk menemui ayah Merida. Aku bingung, apa yang harus dipersiapkan terlebih dahulu. Seperti memahami kegundahanku, Merida mulai menjelaskan seperti apa karakter ayahnya dan kriteria apa yang sebenarnya ayahnya usahakan untuk putri tercintanya selama ini. Merida seolah mengerti, bagaimana cara mengeluarkan kemampuan terbaik yang aku punya. Akupun mulai memahami apa yang harus aku lakukan. Tapi tetap, 3 bulan bukan waktu yang lama. Aku harus menjaga fokusku dan bertindak secara presisi. Aku merasakan energi yang luar biasa saat mulai melangkahkan kaki untuk mewujudkan tujuanku.

Sejak awal, saat aku menata ulang tujuan hidupku dan mempersiapkan yang diperlukan sebelum menemui ayah Merida, aku berusaha fokus kepada ikhtiarku saja. Aku tidak saklek menjadikan Merida sebagai tujuan akhir. Bukan berarti aku tidak mengharapkannya, namun aku hanya ingin agar semua ikhtiarku demi Allah semata. Aku percaya ketetapan Allah dan ridhaNya akan memenuhi segala harapan. Bukan sekedar menjawab do'a saja, namun memenuhi harapan.

Sebelum aku memulai 90 hari menghimpun cinta, saat itu aku menuliskan pesan untuk Merida,

"Love is in the way that you move me, in the way that you know me. When i can't find the right words to say, can you feel love in the way?"

Fran

Minggu, 15 Februari 2015

Kecerdasan Nabi Adam as, Sang Pembelajar


* Dan Allah berfirman, "Hai Adam bertempat tinggallah kamu dan isterimu di surga serta makanlah olehmu berdua (buah-buahan) di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu berdua mendekati pohon ini, lalu menjadilah kamu berdua termasuk orang-orang yang zalim."

* Maka syaitan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup dari mereka yaitu auratnya dan syaitan berkata, "Tuhan kamu tidak melarangmu dan mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang-orang yang kekal (dalam surga)."

* Dan dia (syaitan) bersumpah kepada keduanya, "Sesungguhnya saya adalah termasuk orang yang memberi nasehat kepada kamu berdua",

* maka syaitan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. Tatkala keduanya telah merasai buah kayu itu, nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga. Kemudian Tuhan mereka menyeru mereka, "Bukankah Aku telah melarang kamu berdua dari pohon kayu itu dan Aku katakan kepadamu: "Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?"
(QS Al-'A'raf: 19-22)

Jika kita melihat cerita dalam ayat-ayat di atas dari sudut yang terbatas, maka rangkaian kisah di atas mungkin akan tertangkap oleh kita sebagai kisah tentang kebodohan Nabi Adam as dan Hawa yang ditipu oleh syaitan. Tapi, jika kita melihatnya tak sekedar dari sudut pandang hitam putih saja, maka apa yang kita saksikan adalah suatu drama karakter yang sangat menarik dan penuh hikmah.

Selanjutnya, kita akan mempelajari kecerdasan seorang pembelajar dari kisah Nabi Adam as. Kecerdasan seorang pembelajar, antara lain:

1. Kemampuan untuk Mengenali Setiap Benda
Sudah begitu masyhur, bahwa iblis sangat iri kepada Nabi Adam as karena iblis diperintahkan Allah untuk bersujud kepada Adam as. Iblis menganggap ia lebih unggul dibandingkan dengan Adam as, karena iblis lebih dahulu diciptakan Allah. Iblis tidak menyadari keistimewaan Adam as, yang bahkan para malaikat pun tak memilikinya. (QS Al-Baqarah: 30-34).
Adam as memiliki kemampuan mengetahui nama-nama benda. Lalu apa hebatnya? Mengetahui nama-nama benda bukanlah sekedar tahu namanya, namun juga mengenali sifat-sifat dan kekuatan-kekuatan apa saja yang terkandung di dalam benda-benda itu.
Pengetahuan tentang nama-nama benda juga memungkinkan manusia untuk memiliki pengetahuan tentang potensi-potensi kekuatan yang terkandung di dalam benda-benda dan untuk kemudian menciptakan berbagai benda baru dari benda-benda yang telah ada. Pengetahuan inilah yang memungkinkan manusia melakukan aktifitas penciptaan. Kemampuan mencipta inilah yang membedakan kualitas manusia dibandingkan makhluk-makhluk lainnya.

2. Kemampuan untuk Introspeksi dan Memperbaiki Diri
Seorang pembelajar yang baik akan mampu menyadari kesalahannya sendiri, menerima konsekuensinya dan berusaha memperbaiki diri.
Ketika Allah Swt mengingatkan bahwa Nabi Adam as dan Hawa telah berbuat kesalahan, Nabi Adam as dan Hawa secara spontan mengakui kesalahan mereka,

Keduanya berkata, "Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi (QS Al-'A'raf: 23).

Kemampuan mengakui kesalahan merupakan ciri-ciri manusia yang cerdas. Mengakui kesalahan berarti mengakui bahwa dirinya bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya sekaligus berusaha mengubah perilakunya di kesempatan yang lain. Hal ini berbeda jika dibandingkan dengan sikap iblis ketika Allah menghukum iblis saat ia menolak untuk bersujud kepada Adam as. Bukannya mengakui kesalahan, iblis malah bersumpah akan menyesatkan manusia dari jalan Allah (QS Al-'A'raf: 16).
Lalu, turunnya Adam as dan Hawa ke bumi, bukanlah hukuman dalam artian yang biasa kita pahami. Surga hanya bisa ditempati oleh mereka yang hatinya murni, maka mana mungkin bisa dikatakan murni jika belum ada ujian demi ujian untuk menempa hati kita? Allah hendak menguji kemurnian hati Adam as dan Hawa serta segenap keturunannya di bumi sebelum nantinya pulang ke surga. Aamiin.

3. Kemampuan untuk Selalu Waspada
Waspada di sini ialah kemampuan Nabi Adam as untuk mengenali tipu daya iblis, musuh manusia. Sebagai pembelajar, Nabi Adam as telah mengalami pahitnya tertipu oleh syaitan. Hal ini menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi Adam as untuk mengenali trik-trik tipu daya musuhnya. Pengalaman inilah yang menjadi bekal Adam as di bumi agar tidak lagi terkecoh tipu daya iblis. Sikap apa lagi yang lebih tepat dalam menghadapi musuh selain dari sikap waspada?
Mengenai pentingnya sikap waspada ini, Imam Ja'far Ash-Shadiq mengatakan, "Barangsiapa yang tidak bersikap waspada bukanlah orang yang berilmu, bahkan meskipun ia dapat menangani masalah-masalah keilmuan yang paling pelik."

Itulah sebagian kecil dari kecerdasan pembelajar yang dicontohkan dalam kisah Nabi Adam as. Kita sebagai umat Islam, haruslah selalu mengkaji pesan-pesan tersirat di dalam Al-Qur'an.

Semoga bermanfaat.

Senin, 09 Februari 2015

Secangkir Kopi & Sebait Kamu

Gerimis pagi ini, menemani langkahku menuju tempatku bekerja. Tempat kerja pertamaku sampai hari ini. Sesampainya di tempat kerja, kubersihkan sisa-sisa genangan air yang menempel di kaki dan jas hujanku. Aku menatap jam tangan, masih ada waktu setengah jam lagi sebelum jam kerja. Yeah!!! Aku tahu itu tandanya aku masih bisa menikmati secangkir kopi sebelum mulai bekerja. Tak menunggu lama, aku menuju pantry, segera kuadu kopi bubuk, gula dan air panas dalam cangkir berukuran sedang. Hmmm... Aroma kopiku mulai memikat, tak sabar ingin segera kuhabiskan. Namun, bukan begitu cara terbaik menikmati kopi. Aku harus menunggu sampai bubuk-bubuk kopi mengendap di dasar cangkir. "Sabar, Fran!!!", kataku pada diri sendiri.

Sambil menunggu kopiku tanak, aku ingat pesanmu sebelum aku beranjak kerja pagi ini. "Mas, ingat hari ini, kan? Pulangnya lebih cepat, ya. Aku akan masak makanan kesukaanmu." , katamu berpesan dengan mata berbinar. Aku mengingat hari ini, tepat setahun yang lalu, aku menikahi Merida, istriku. Aku masih tak menyangka, akhirnya kami hidup bersama. Aku hanyalah lelaki biasa, sedangkan Merida seorang anak dari keluarga terpandang. Namun, aku tak pernah mau mengungkit-ungkit soal perbedaan status sosial kami. Aku ingat, terakhir kali aku membahasnya, dia marah. Sesuatu yang sangat jarang ia lakukan, marah. Sejak saat itu, aku berusaha untuk tidak membicarakan tentang hal itu lagi. Sampai saat ini, kami masih tinggal di sebuah rumah kontrakan. Betapa bersyukurnya aku disandingkan dengan Merida. Saat aku meminta maaf karena belum mampu membeli rumah sendiri, ia selalu berkata, sambil tersenyum manis, "Mas, sudahlah. Memangnya kenapa kalau ngontrak, kan ngga dosa? Aku malah ngga mau kalau kita berhutang dan terlilit riba, hanya karena ingin punya rumah sendiri. Rumah itu bukanlah berwujud benda, rumah adalah perasaan nyaman yang kita dapatkan kala berada di dalamnya. Dan Mas tahu, aku merasa nyaman di sini, di samping Mas Fran." Aku haru mendengar jawaban Merida kala itu. Alhamdulillah...

Ah, aku tahu!!! Nanti sepulang kerja, aku akan mampir ke toko bunga. Akan kubelikan Merida seikat bunga kesukaannya. Aku memang bukan pria romantis. Namun, Merida mampu membuatku bisa berusaha berlaku romantis, untuk bisa selalu melihat binar matanya dan senyum manisnya. Di dalam ikatan bunga, akan kuselipkan dua kata, maaf dan terima kasih. Ya, dua kata itu sangat dicintai Allah, apalagi manusia, ciptaan Allah, pikirku.

Dear Merida, istriku,

Maafkan aku, setahun berlalu, aku belum mampu membahagiakanmu seutuhnya. Maafkan aku, atas segala kesalahan dan kelalaianku memperhatikanmu. Kamu tahu, aku selalu berusaha mewujudkan mimpi-mimpi kita. Sayang, terima kasih engkau selalu sabar melewati hari-hari bersamaku. Terima kasih, engkau selalu meyakinkanku, mendorongku di saat aku ragu. Aku akan terus berusaha memahamimu. Aku ingin melihat binar matamu dan senyum manismu setiap waktu.

Suamimu, Fran

Sementara, kopiku makin tanak, inilah waktu terbaik menikmatinya. Segera kuhabiskan, jam kerja hampir datang.

Secangkir Kopi & Sebait Kamu

Gerimis pagi ini, menemani langkahku menuju tempatku bekerja. Tempat kerja pertamaku sampai hari ini. Sesampainya di tempat kerja, kubersihkan sisa-sisa genangan air yang menempel di kaki dan jas hujanku. Aku menatap jam tangan, masih ada waktu setengah jam lagi sebelum jam kerja. Yeah!!! Aku tahu itu tandanya aku masih bisa menikmati secangkir kopi sebelum mulai bekerja. Tak menunggu lama, aku menuju pantry, segera kuadu kopi bubuk, gula dan air panas dalam cangkir berukuran sedang. Hmmm... Aroma kopiku mulai memikat, tak sabar ingin segera kuhabiskan. Namun, bukan begitu cara terbaik menikmati kopi. Aku harus menunggu sampai bubuk-bubuk kopi mengendap di dasar cangkir. "Sabar, Fran!!!", kataku pada diri sendiri. Sambil menunggu kopiku tanak, aku ingat pesanmu sebelum aku beranjak kerja pagi ini. "Mas, ingat hari ini, kan? Pulangnya lebih cepat, ya. Aku akan masak makanan kesukaanmu." , katamu berpesan dengan mata berbinar. Aku mengingat hari ini, tepat setahun yang lalu, aku menikahi Merida, istriku. Aku masih tak menyangka, akhirnya kami hidup bersama. Aku hanyalah lelaki biasa, sedangkan Merida seorang anak dari keluarga terpandang. Namun, aku tak pernah mau mengungkit-ungkit soal perbedaan status sosial kami. Aku ingat, terakhir kali aku membahasnya, dia marah. Sesuatu yang sangat jarang ia lakukan, marah. Sejak saat itu, aku berusaha untuk tidak membicarakan tentang hal itu lagi. Sampai saat ini, kami masih tinggal di sebuah rumah kontrakan. Betapa bersyukurnya aku disandingkan dengan Merida. Saat aku meminta maaf karena belum mampu membeli rumah sendiri, ia selalu berkata, sambil tersenyum manis, "Mas, sudahlah. Memangnya kenapa kalau ngontrak, kan ngga dosa? Aku malah ngga mau kalau kita berhutang dan terlilit riba, hanya karena ingin punya rumah sendiri. Rumah itu bukanlah berwujud benda, rumah adalah perasaan nyaman yang kita dapatkan kala berada di dalamnya. Dan Mas tahu, aku merasa nyaman di sini, di samping Mas Fran." Aku haru mendengar jawaban Merida kala itu. Alhamdulillah... Ah, aku tahu!!! Nanti sepulang kerja, aku akan mampir ke toko bunga. Akan kubelikan Merida seikat bunga kesukaannya. Aku memang bukan pria romantis. Namun, Merida mampu membuatku bisa berusaha berlaku romantis, untuk bisa selalu melihat binar matanya dan senyum manisnya. Di dalam ikatan bunga, akan kuselipkan dua kata, maaf dan terima kasih. Ya, dua kata itu sangat dicintai Allah, apalagi manusia, ciptaan Allah, pikirku. Dear Merida, istriku, Maafkan aku, setahun berlalu, aku belum mampu membahagiakanmu seutuhnya. Maafkan aku, atas segala kesalahan dan kelalaianku memperhatikanmu. Kamu tahu, aku selalu berusaha mewujudkan mimpi-mimpi kita. Sayang, terima kasih engkau selalu sabar melewati hari-hari bersamaku. Terima kasih, engkau selalu meyakinkanku, mendorongku di saat aku ragu. Aku akan terus berusaha memahamimu. Aku ingin melihat binar matamu dan senyum manismu setiap waktu. Suamimu, Fran Sementara, kopiku makin tanak, inilah waktu terbaik menikmatinya. Segera kuhabiskan, jam kerja hampir datang.

Sabtu, 07 Februari 2015

Kemenangan

Masih segar dalam ingatan peristiwa penembakan yang terjadi di kantor redaksi majalah Charlie Hebdo, 7 Januari 2015 silam. Kejadian yang menggemparkan dunia dan Indonesia. Sebelumnya, majalah Charlie Hebdo, memang dikenal dengan karya-karya satire yang menyerang gerakan kanan, agama, politik dan budaya.

Saya sendiri amat terganggu dengan karikatur-karikatur majalah Charlie Hebdo yang menghina Rasulullah saw. Saya juga sedih karena tidak mampu berbuat banyak untuk membela Rasulullah. Sedih. Selain itu, saya merasakan kalau Indonesia, sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, seakan santai-santai saja setiap ada isu-isu yang menyudutkan Islam. Memang, beberapa kelompok-kelompok aktifis Muslim tak hentinya membela agama Islam. Namun, secara umum, Indonesia seolah tak punya kekuatan untuk sekedar bersuara.

Untuk itu, lewat tulisan ini, saya ingin mencoba mengurai kenapa Indonesia terlihat lemah di mata dunia. Setidaknya ada 2 persoalan yang menjadi akar permasalahan di Indonesia. Keduanya adalah faktor pemimpin dan ekonomi;

A. Pemimpin
Agar pemerintahan sebuah negara dapat berjalan dengan semestinya, tentunya harus memiliki pemimpin yang kuat dan berkarakter. Dalam agama Islam, metode pemilihan pemimpin bukanlah berdasarkan suara terbanyak. Untuk menjadi pemimpin suatu kaum, syaratnya adalah;
1. Orang yang paling menguasai bacaan Kitab Allah (Al Qur’an). Jika sama kualitasnya, maka
2. Orang yang paling paham tentang sunnah Nabi (hadits). Jika masih sama, maka
3. Orang yang paling dahulu hijrah.Jika mereka dalam masalah hijrah sama, maka
4. Orang yang lebih dahulu masuk Islam (HR. Muslim no. 673).

Begitulah syarat yang benar untuk menunjuk seorang pemimpin. Perhatikan kata-kata dalam syarat nomor 1 dan 2. Menguasai Al-Qur'an dan memahami Sunnah Rasulullah saw. Jadi disini, bukan sekedar hafal saja, namun mampu mengaplikasikan ilmu agamanya dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga tercerminlah akhlak Qur'ani darinya. Jika pemimpin telah dipilih secara tepat, tentu kebijakan-kebijakan yang ditetapkan akan bermanfaa bagi umat.

B. Ekonomi
Selain pemimpin yang tepat, faktor ekonomi juga sangat fundamental bagi kekuatan sebuah negara. Lalu, apakah seorang pemimpin haruslah kaya raya? Bukan, bukan seperti itu. Bukan sekedar kaya saja, namun yang lebih utama ialah keberkahan kekayaan dari Allah Swt. Indonesia disebut-sebut sebagai negara kaya dengan sumber daya alam yang melimpah. Namun, mengapa masih banyak rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan? Saya melihat ada persoalan serius tentang kegiatan ekonomi di negara ini. Coba perhatikan terjemahan ayat dalam Al-Qur'an berikut ini,

... Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.. (QS. Al-Baqarah: 275).

Secara umum, riba berarti tambahan. Wujud nyatanya bisa berupa bunga pinjaman, bunga dalam transaksi jual beli, dsb. Terang saja, Indonesia tak bisa mandiri secara finansial. Tengoklah berapa besarnya hutang negara, lebih parah lagi hutang tersebut disertai bunga alias mengandung riba.
Jika dari pucuk pemerintahan sudah bergelut dengan riba, rakyat-rakyat pun juga kian akrab dengan transaksi ribawi. Kini dengan mudahnya orang bisa berhutang kepada bank, membeli rumah dan kendaraan secara kredit, menggunakan jasa kartu kredit, dsb, yang itu semua mayoritas bersentuhan dengan riba.
Lalu, bagaimana Indonesia mampu berkekuatan ekonomi yang hebat jika yang dilakukan adalah yang jelas-jelas diharamkan Allah? Padahal kita semua tak bisa lepas dari kegiatan jual beli atau perdagangan. Jika riba mampu melumpuhkan kekuatan Indonesia, apa jadinya jika dalam keseharian kita berkutat dengan riba?

Kedua faktor di atas tentu sangat berkaitan erat. Jika pemimpin dipilih dengan cara yang benar menurut Islam, tentu beliau akan mampu menegakkan perekonomian yang berbasis Islam. Lalu jika kekayaan suatu kaum didapatkan lewat cara yang halal, tentu akan mampu menciptakan generasi yang diberkahi Allah.
Kabar baiknya, kini kian banyak pihak yang peduli dengan Indonesia. Mereka berjama'ah menggalang gerakan mengenalkan Al-Qur'an sejak dini kepada generasi penerus bangsa. Kemudian para pelaku ekonomi juga mulai serius berkomitmen menjalankan roda perekonomian secara halal, bebas riba. Muncul rasa optimis dalam diri saya akan kebangkitan Indonesia.

Kita sebagai generasi muda selayaknya turut berperan aktif dalam usaha memajukan Indonesia sesuai petunjuk Al-Qur'an dan Sunnah. Karena dengan berpedoman kepada keduanya, Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah saw, kita tidak akan tersesat selamanya.

Mari rapatkan barisan dan bersiaplah menyambut kemenangan!!!

Kamis, 05 Februari 2015

Bumi Untuk Manusia, Manusia Untuk Akhirat

Apa yang ada di benak kita kala disebutkan kata Allah? Niscaya hingga lautan-lautan dikeringkan untuk dijadikan tinta, belumlah selesai tulisan mengenai kebesaran Allah.. Selanjutnya, secuil dari kekuasaan Allah akan tersaji dalam perjalanan kita kali ini.. Penelitian yang dilakukan dengan teknologi masa kini berhasil mengungkapkan bahwa antara 3 hingga 30% sinar matahari dipantulkan oleh permukaan laut. Jadi, hampir semua tujuh warna yang menyusun spektrum sinar matahari diserap satu demi satu ketika menembus permukaan lautan hingga kedalaman 200 meter, kecuali sinar biru. Sedngkan, di bawah kedalaman 1000 meter, tidak dijumpai sinar apapun. Fakta ilmiah ini telah disebutkan dalam ayat ke-40 surat An Nuur sekitar 1400 tahun yang lalu.. "Atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang tindih-bertindih, apabila dia mengeluarkan tangannya, tiadalah dia dapat melihatnya, (dan) barangsiapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah tiadalah dia mempunyai cahaya sedikitpun." (Al Qur'an, 24:40). Keadaan umum tentang lautan yang dalam dijelaskan dalam buku berjudul Oceans: Kegelapan dalam lautan dan samudra yang dalam dijumpai pada kedalaman 200 meter atau lebih. Pada kedalaman ini, hampir tidak dijumpai cahaya. Di bawah kedalaman 1000 meter, tidak terdapat cahaya sama sekali. (Elder, Danny; and John Pernetta, 1991, Oceans, London, Mitchell Beazley Publishers, s. 27) Kini, kita telah mengetahui tentang keadaan umum lautan tersebut, ciri-ciri makhluk hidup yang ada di dalamnya, kadar garamnya, serta jumlah air, luas permukaan dan kedalamannya. Kapal selam dan perangkat khusus yang dikembangkan menggunakan teknologi modern, memungkinkan para ilmuwan untuk mendapatkan informasi ini.Manusia tak mampu menyelam pada kedalaman di bawah 40 meter tanpa bantuan peralatan khusus. Mereka tak mampu bertahan hidup di bagian samudra yang dalam nan gelap, seperti pada kedalaman 200 meter. Karena alasan inilah, para ilmuwan hanya baru-baru ini saja mampu menemukan informasi sangat rinci tersebut tentang kelautan. Namun, pernyataan "gelap gulita di lautan yang dalam" digunakan dalam surat An Nuur 1400 tahun lalu. Ini sudah pasti salah satu keajaiban Al Qur’an, sebab infomasi ini dinyatakan di saat belum ada perangkat yang memungkinkan manusia untuk menyelam di kedalaman samudra.Selain itu, pernyataan di ayat ke-40 surat An Nuur, "Atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan…" mengarahkan perhatian kita pada satu keajaiban Al Qur’an yang lain. Para ilmuwan baru-baru ini menemukan keberadaan gelombang di dasar lautan, yang "terjadi pada pertemuan antara lapisan-lapisan air laut yang memiliki kerapatan atau massa jenis yang berbeda." Gelombang yang dinamakan gelombang internal ini meliputi wilayah perairan di kedalaman lautan dan samudra dikarenakan pada kedalaman ini air laut memiliki massa jenis lebih tinggi dibanding lapisan air di atasnya. Gelombang internal memiliki sifat seperti gelombang permukaan. Gelombang ini dapat pecah, persis sebagaimana gelombang permukaan. Gelombang internal tidak dapat dilihat oleh mata manusia, tapi keberadaannya dapat dikenali dengan mempelajari suhu atau perubahan kadar garam di tempat-tempat tertentu. (Gross, M. Grant; 1993, Oceanography, a View of Earth, 6. edition, Englewood Cliffs,Prentice-Hall Inc., s. 205) Pernyataan-pernyataan dalam Al Qur'an benar-benar bersesuaian dengan penjelasan di atas. Tanpa adanya penelitian, seseorang hanya mampu melihat gelombang dipermukaan laut. Mustahil seseorang mampu mengamati keberadaan gelombang internal di dasar laut. Akan tetapi, dalam surat An Nuur, Allah mengarahkan perhatian kita pada jenis gelombang yang terdapat di kedalaman samudra. Sungguh, fakta yang baru saja diketemukan para ilmuwan ini memperlihatkan sekali lagi bahwa Al Qur'an adalah kalam Allah. Pesan sebenarnya adalah, benar adanya jika bumi dan seisinya diciptakan untuk manusia, untuk tempat hidup, berpikir, berkembang, bergaul, dll. Lalu, dengan segala daya pikat yang bumi miliki, kita diperintahkan untuk mempersiapkan diri meninggalkan bumi. Bumi bukanlah tempat kita mengabadi, namun jembatan menuju keabadian yang sejati. Akhiratlah muara dari segala perjalanan ini. Bumi diciptakan untuk manusia, manusia diciptakan untuk akhirat.

Misteri Cinta

Judulnya horor banget, ya? Tenang, itu strategi marketing aja, biar tulisan gue dibaca. Dezig!!!

Kali ini, tulisan gue agak nyantai. Walaupun temanya berat (cinta, gitu), tapi gue coba sampaikan dengan bahasa yang lebih ringan. Entah kenapa, persentase tulisan gue tentang cinta meningkat pesat. Jangan-jangan.....

Oke, back to reality, kalau ngomongin soal cinta, akan sangat erat kaitannya dengan jodoh. Inilah tema favorit sejuta umat. Hehehe... Yang gue tahu, jodoh itu adalah cerminan diri kita sendiri. Maksudnya, dalam level yang tidak berjauhan, biasanya jodoh itu identik dengan kita. Dari situlah muncul istilah ngetop di kalangan para single, yaitu memantaskan diri. Konsep memantaskan diri ini tidak lain untuk kebaikan kita juga. Karena dengan memantaskan diri, secara otomatis, nantinya pasangan hidup kita pun akan sesuai dengan apa yang kita usahakan.

Nah, gue sendiri karena punya kepribadian pemikir yang disertai intuisi, logika gue sering menggoda untuk menerawang jauh tentang jodoh gue. Jadi, gue sering mikir, kalau misal gue memantaskan diri di level ini, gue akan disatukan dengan si ini. Lalu, kalau gue memantaskan diri di level itu, gue akan disatukan dengan si itu. Oh my... :D :D :D

Mungkin itu hanyalah akibat dari gue yang kurang bersyukur dan tak pernah puas. Jodoh itu ketetapan Allah, apalah gue yang coba-coba main logika liar, untuk sekedar pembenaran dalam menunda pernikahan. Justru, cinta itu akan membara ketika misteri-misteri itu tetap ada.

Tulisan ini bisa bermanfaat kalau kalian benar-benar jeli menangkap pesan yang coba gue sampaikan.

Membidik Cinta

Oh, lagi-lagi ngomongin cinta. Atas izin Allah, gue bisa berteori tentang cinta. Semoga bisa senantiasa berpraktek dengan penuh cinta. Aamiin..
Ada kalimat bijak, kurang lebih seperti ini, "Bidiklah langit, kelak jikapun meleset, kamu akan berada di antara bintang-bintang." Nah, dari situlah inspirasi tulisan gue kali ini.

Jadi gini, dalam percintaan, kalimat di atas bisa berlaku juga. Seperti target-target kehidupan yang lain, dalam membidik cintapun mesti setinggi-tingginya. Ngga tahu diri, ya? Tunggu dulu, gue jelasin maksudnya.. Saat kita membidik cinta kita setinggi mungkin, akan ada usaha ekstra untuk mencapai cinta tersebut. Bagi mereka yang benar serius, bahkan perjuangan pejuang-pejuang cinta ini akan menyentuh level yang luar biasa. Mereka benar-benar membidik langit. Dalam perjalanannya, akan ada pejuang yang terkapar di tengah perjalannya, ada yang berhasil mencapai langit yang mereka tuju dan ada pula yang berbahagia di antara bintang-bintang. Ngga ada yang salah dengan mimpi para pejuang cinta. Hanya yang perlu diingat, tetapkan niat hanya karena Allah. Allah-lah yang mampu mengangkat kita hingga ke langit-langit impian kita. Takkan ada yang mampu melakukannya selain Dia. Selain itu, usaha untuk menuju langit cintamu, haruslah dengan cara yang diridhai-Nya pula. Sehingga apapun hasilnya nanti, kualitas diri akan meningkat secara signifikan ke arah yang lebih positif. Satu lagi, saat kita membidik langit, kadang kita pikir yang terjangkau pandangan kita, itulah langit cinta kita. Ternyata, atas izin Allah yang ridha dengan usaha kita, kita bahkan diantar menuju langit yang di luar batas pandangan kita. Betapa indahnyaaa, jika kita mantap dan ridha dengan apa yang Allah perintahkan. Skenario Allah akan selalu menjadi yang terbaik.

So, bidiklah langit cintamu, kawan. Semoga Allah meridhai segala niat baikmu.

Ayah, Aku Rindu

Ayahku tak pernah banyak bicara. Ayah mengajarkanku banyak hal dengan cara yang kadang sulit untuk kupahami. Suatu ketika, aku tengah bermain bersama teman-teman sebayaku. Lalu, kulihat ayah tergesa mendekat dengan air muka yang merah membara. Tanpa banyak kata, aku tahu bahwa aku harus segera pulang. Kini, aku mengerti, bahwa ayah ingin aku lebih giat belajar, bukannya terus-terusan bermain. Beberapa waktu kemudian, aku merengek kepada ayah untuk segera membayar uang spp di bulan itu. Lagi-lagi, ayah hanya diam. Aku tak mengerti, aku mengira ayah tak peduli. Sampailah ayah memberikan uang untuk membayar spp bulan itu. Kini, aku mengerti, bahwa ayah mengajarkanku untuk tidak banyak berjanji. Tidak berjanji bukan berarti tidak peduli. Tibalah waktu pembagian raport. Aku tahu kalau aku mendapatkan ranking 1. Ayah tetap saja tidak bergeming. Aku selalu bangga saat mendapatkan ranking 1. Tidak sekali, dua kali aku jadi juara umum, tapi ayah selalu diam, seolah tak senang dengan keberhasilan anaknya. Kini, aku mengerti, ayah mengajarkanku tentang rendah hati. Karena rendah hati pula, aku pernah terperosok dalam, manakala aku tidak memilikinya. Begitu seterusnya, ayah mengajarkan banyak hal padaku, dengan cara yang sulit kupahami. Sampai suatu hari, menjelang saat-saat terakhir beliau, hanya ada aku dan ayah saja. Ayah kembali diam. Raut mukanya tenang, seakan tugasnya mendidikku sudah tuntas. Kini, setiap kuingat saat-saat terakhir beliau, aku mengerti, beliau sedang mengajarkanku tentang tanggung jawab... Ayah, terima kasih untuk segala bekal yang telah engkau berikan. Maafkan aku, karena kebodohanku, aku tak sanggup memahami ilmu yang engkau ajarkan. Nanti ayah, saat ayah kembali diam di sana, atas izin Allah, aku akan bersaksi untukmu, bahwa engkau telah mendidikku dengan benar. Ya Allah, ampunilah aku dan kedua orang tuaku dan sayangilah kedua orang tuaku sebagaimana mereka telah mendidikku sewaktu aku kecil.

Sudut Pandang

Apa kabar realitas? Jawabannya akan beragam, tergantung pada tingkat kepekaan masing-masing. Sering kita jumpai kerumunan khalayak, namun terlihat hampa. Masing-masing sibuk dengan urusan-urusannya. Tak menau apa yang terjadi persis di sekitarnya. Namun, ajaibnya, kejadian kecil di belahan dunia yang lain begitu cepat memenuhi topik pembicaraan massal. Apalagi jika menyangkut pemberitaan negatif, kadang tanpa sadar, hakim-hakim baru bermunculan. Apa yang mereka cari? Hidup memang perlombaan, dalam mengamalkan kebaikan. Hidup adalah persinggahan, menuju peradaban yang abadi. Lihatlah jauh lebih dalam. Engkau tak perlu penglihatan yang gempita. Yang kau butuhkan adalah merasakan makna melihat. Suatu benda dapat terlihat, bukan hanya karena kau bermata. Namun juga, karena ada cahaya yang tercurahkan mengenainya. Serta sederet keajaiban yang hanya keyakinan yang mampu memahaminya. Lebih jauh lagi, kau tak perlu melihat segalanya. Harusnya, dari apa yang telah engkau lihat, kau mampu menggali makna terdalam darinya. Karena, mampu memahami makna dari apa yang terlihat, adalah karunia cantik dari Sang MahaMelihat.

Abu Hazim Salamah bin Dinar rahimahullah (Tabi'in, Madinah, wafat setelah 140 H)

* ditanyakan kepada Abu Hazim rh, "Apa hartamu?" Beliau menjawab, "Yakin kepada Allah 'Azza wa jalla dan putus asa terhadap apa yang ada di tangan manusia." * Abu Hazim rh berkata, "Setiap nikmat yang tidak mendekatkan diri kepada Allah, maka itu adalah musibah."

* Abu Hazim rh berkata, "Hendaknya seorang mukmin itu lebih berhati-hati dalam menjaga lisannya daripada kehati-hatiannya dalam melangkahkan kedua telapak kakinya."

* Abu Hazim rh berkata, "Nikmat dunia yang Allah jauhkan dariku itu lebih utama daripada nikmat dunia yang Dia berikan kepadaku."

* Abu Hazim rh berkata, "Jika kami dijaga dari keburukan apa yang diberikan kepada kami, maka kami tidak peduli dengan apa yang tidak diberikan kepada kami."

* Abu Hazim rh berkata, "Sesungguhnya barang dagangan akhirat itu tidak laku, maka perbanyaklah barang dagangan akhiratmu pada saat tidak laku. Karena jika tiba waktu larisnya, kamu tidak akan mendapatkannya, baik sedikit maupun banyak."

Dikutip dari kitab Shifatus Shafwah, ditulis oleh Ibnul Jauzi rh.

Selasa, 03 Februari 2015

Berawal Dari Facebook

Kalau bercerita tentang kenangan unik bersama Facebook, tak terhitung jumlahnya. Gue bisa bertemu dengan teman-teman yang udah lama tak berkabar, gue bisa tahu perkembangan terkini di belahan dunia yang lain dan masih banyak hal positif lainnya. Thanks, Mark!!

Tapi, ada 1 pengalaman tak terlupakan buat gue selama bermain Facebook. Gue 'kan suka banget sama sepakbola, suatu ketika gue ditawari untuk menjadi admin di salah 1 grup berisi pendukung sebuah klub sepakbola. Awalnya, gue sempat ragu, tapi akhirnya gue teryakinkan juga untuk mengiyakan tawaran itu. Nah, sejak itulah, mau ga mau, gue harus nulis artikel. Artikel preview & review pertandingan, live report saat pertandingan berlangsung, news update tentang kondisi tim terkini dan masih banyak lagi. Gue bisa bilang, inilah awal mula gue mulai rutin menulis. Seiring berjalannya waktu, pandangan gue tentang sebuah pertandingan sepakbola jadi berubah. Tadinya, gue cuma tahu sepakbola itu hanya menang, kalah dan gol. Ternyata banyak detail yang juga sayang untuk dilewatkan begitu saja. Singkat kata, gue jadi mulai perhatikan tentang statistik pertandingan. Contohnya;
- distance covered, yaitu jarak tempuh seorang pemain dalam suatu pertandingan
- passing accuracy, yaitu persentase umpan akurat seorang pemain dalam suatu pertandingan
- key pass, yaitu umpan kunci yang kemudian menjadi cikal bakal terjadinya gol (sebelum assist)
- assist, yaitu umpan terakhir yang kemudian dituntaskan menjadi sebuah gol, dan masih banyak detail-detail yang lebih rumit lainnya.

Yang ga kalah menantang, gue nih jadi admin grup pendukung klub sepakbola yang ada di Eropa. Nah, karena perbedaan waktu yang kurang lebih 7-9 jam, gue jadi sering begadang untuk bisa tetap kasih berita terbaru. Ah, gue menikmati masa itu. Dengan menjadi admin kala itu, gue belajar lebih tentang kerjasama, persahabatan, keikhlasan, tanggung jawab, konsistensi, pengertian, kesabaran dan banyak lainnya.

Akhirnya, gue mau bilang, media sosial, apapun itu, akan bermuara positif jika kita menyikapinya dengan positif pula. Sebaliknya, ianya akan menjadi candu negatif yang membuat fokus kita terhadap hal-hal yang lebih penting menjadi terbengkalai.

Again, thanks Mark!!!

Seharusnya Cinta

Hadirmu di sini adalah tanda cinta-Nya. Kalau kau tak mengerti, cobalah berkenalan dengan-Nya. Setelah kau memahaminya, cinta-Nya akan merasukimu. Saat kemudian kau mulai mencintai-Nya, itupun tanda cinta dari-Nya.

Apakah kau tahu? Cinta-Nya tak terjamah logika. Cinta-Nya bukan kalkulasi 1 + 1 = 2. Jika kau meniti petunjuk cinta-Nya, tak hanya 2, 3 atau 5x ketaatanmu diberi balasan. Titianmu di jalan-Nya juga tanda cinta dari-Nya. Saat kau lemah dan terlupa, cinta-Nya tetap ada untuk memaafkanmu dan memberimu tenaga. Dalam keadaan terlemahmupun, cinta-Nya hadir agar kau tahu cinta-Nya tak tereja logika.

Tanda cinta dari-Nya, diciptakan untukmu, sesama yang hadir menyapa. Dimana kau bisa mencintainya dan menerima. Saat hatimu terluka karenanya, cinta-Nya menuntunmu menuju cinta yang seharusnya. Dia ingin kau mencinta dengan tetap dalam titian-Nya. Bukan kepadanya kau labuhkan segala cinta. Namun, bersamanya kau menapaki jalan cinta menuju-Nya. Saat kau mampu melakukannya bersama-sama, itu juga tanda cinta dari-Nya. Begitulah seharusnya cinta.

Untukmu, yang selalu menjaga cinta. Semoga kita, seharusnya cinta.