Selasa, 17 Februari 2015

90 Hari Menghimpun Cinta

Tak biasanya jalan ini mengalami kemacetan. Namun, sore ini jalan yang sehari-hari kulalui pulang-pergi untuk bekerja, mengalami tumpukan kendaraan yang mengular. Setelah kutanyakan kepada sesama pengendara di sekitar lokasi, barulah kutahu, kemacetan ini disebabkan karena ada evakuasi terhadap sebuah kendaraan berat yang terperosok ke luar jalur jalan. Karena badanku agak letih, aku putuskan untuk menepi sejenak. Sambil beristirahat, aku mengirim pesan singkat kepada Merida, istriku.

"Bunda, hari ini Ayah agak terlambat sampai rumah. Jalanan macet, ada kecelakaan tunggal. Miss you, Bunda."
Begitulah kiranya pesan singkatku kepada Merida. Sepertinya ia sedang mengerjakan sesuatu, karena pesanku belum dibalasnya.

Lalu, ingatanku melayang pada saat kami belum menikah. Tepatnya beberapa bulan sebelum aku menemui ayah Merida. Saat itu, Merida meminta kepastian padaku, kapan aku akan menemui ayahnya sebagai bukti keseriusanku. Aku agak terkejut. Bukan, bukannya aku tak serius dengan Merida, namun saat itu keadaan dan situasi yang kualami, membuatku belum mampu menetapkan kapan akan menikah secara pasti.
Aku bukanlah orang yang memiliki target spesifik dalam semua hal. Selama ini, aku hanya berusaha melakukan sesuatu dengan konsisten dan sesuai. Namun, berbeda sejak aku mengenal Merida. Ia mendorongku untuk mulai menata ulang tujuan hidupku. Merida mampu menggerakkan sendi-sendiku yang tertidur selama ini. Lebih jauh lagi, tak hanya sekedar bergerak, namun menuju sasaran yang tepat. Aku sangat bersyukur bisa mengenal Merida. Aku bahkan tak pernah membayangkan bisa menjadi suaminya. Saat Merida menanyakan kapan aku akan menemui ayahnya, aku diam beberapa saat. Aku pejamkan mata, mencoba menentukan jawaban. Lalu, kujawab, 3 bulan lagi aku akan menemui ayahnya.

Apa?? 3 bulan??? Apa aku sudah gila? 3 bulan itu waktu yang singkat. Bisa apa aku dalam 3 bulan? Aku tak mengerti kenapa saat itu aku memberikan waktu 3 bulan bagi diriku sendiri untuk menemui ayah Merida. Aku bingung, apa yang harus dipersiapkan terlebih dahulu. Seperti memahami kegundahanku, Merida mulai menjelaskan seperti apa karakter ayahnya dan kriteria apa yang sebenarnya ayahnya usahakan untuk putri tercintanya selama ini. Merida seolah mengerti, bagaimana cara mengeluarkan kemampuan terbaik yang aku punya. Akupun mulai memahami apa yang harus aku lakukan. Tapi tetap, 3 bulan bukan waktu yang lama. Aku harus menjaga fokusku dan bertindak secara presisi. Aku merasakan energi yang luar biasa saat mulai melangkahkan kaki untuk mewujudkan tujuanku.

Sejak awal, saat aku menata ulang tujuan hidupku dan mempersiapkan yang diperlukan sebelum menemui ayah Merida, aku berusaha fokus kepada ikhtiarku saja. Aku tidak saklek menjadikan Merida sebagai tujuan akhir. Bukan berarti aku tidak mengharapkannya, namun aku hanya ingin agar semua ikhtiarku demi Allah semata. Aku percaya ketetapan Allah dan ridhaNya akan memenuhi segala harapan. Bukan sekedar menjawab do'a saja, namun memenuhi harapan.

Sebelum aku memulai 90 hari menghimpun cinta, saat itu aku menuliskan pesan untuk Merida,

"Love is in the way that you move me, in the way that you know me. When i can't find the right words to say, can you feel love in the way?"

Fran

2 komentar: