Jumat, 27 Februari 2015

Maaf dari 600 km

Aku termasuk orang yang perasa. Mungkin terbentuk dari kejadian-kejadian yang telah kualami. Namun, tak disangkal, benarlah pesan Rasulullah, jika banyak tertawa akan mematikan hati.

Hari ini, setidaknya ada 5 orang yang menyatakan di hadapanku, "Kayaknya lagi seneng nih, ketawa-ketawa mulu." , begitu kata mereka. Entah berapa lagi yang memperhatikanku tertawa, yang memilih larut dalam imajinasi mereka masing-masing. Sempat terbersit, aku tak biasanya banyak tertawa seperti ini...

Menjelang sore, ada telepon dari ibuku yang ada di Jogja, sekitar 600 km sebelah timur dari tempatku berdiri. Suara ibu berat, memang sejak beberapa hari yang lalu ibu sakit. Namun, kemarin, ibu bilang kalau ibu sudah sehat. Aku tahu ibu belum sehat, ibu tak bisa membohongiku. Seorang ibu tak pernah mungkin berkata apa-apa yang akan membuat anaknya gusar. Suara berat ibu mulai membuatku menyesal terlalu banyak tertawa hari ini.

Lalu, ibu mulai menyampaikan maksud beliau menelepon. Rupanya ibu sedang ada keperluan. Aku tak langsung menjawab, mencoba kompromi. Ah, anak macam apa aku ini? Semestinya aku tak perlu kompromi. Jika sampai ibu menyatakan langsung kebutuhannya, itu tandanya ibu sudah tidak ada pilihan lain yang tersedia saat ini. Seorang ibu tak pernah rela mengusik kesenangan anaknya. Aaaarggghh!!! Seharusnya aku langsung mengerti. Benarlah hatiku menuju mati hari ini, digerogoti tawaku sendiri.

Tidak sampai disitu saja. Kemudian ibu mengirim pesan singkat, yang isinya, "Mama merasa, selama ini kakak begitu besar perhatiannya kpd keluarga dan begitu besar bakti kakak kpd Mama, demi Mama dan keluarga sampai2 banyak yg dikorbankan. Kak, tetaplah yakin dan percaya Allah Maha Segalanya, pasti akan diblasNya..."

Haaaaaaa, air mataku tak terbendung. Maafkan aku, Bu. Aku masih belum mampu selalu ikhlas. Aku belum mampu mewujudkan do'a orangtua dalam namaku. Harusnya aku tahu bahwa kepiluan yang engkau simpan jauh lebih banyak dari yang engkau ungkapkan, Bu. Maafkan aku, Bu.

1 komentar: