Senin, 09 Februari 2015

Secangkir Kopi & Sebait Kamu

Gerimis pagi ini, menemani langkahku menuju tempatku bekerja. Tempat kerja pertamaku sampai hari ini. Sesampainya di tempat kerja, kubersihkan sisa-sisa genangan air yang menempel di kaki dan jas hujanku. Aku menatap jam tangan, masih ada waktu setengah jam lagi sebelum jam kerja. Yeah!!! Aku tahu itu tandanya aku masih bisa menikmati secangkir kopi sebelum mulai bekerja. Tak menunggu lama, aku menuju pantry, segera kuadu kopi bubuk, gula dan air panas dalam cangkir berukuran sedang. Hmmm... Aroma kopiku mulai memikat, tak sabar ingin segera kuhabiskan. Namun, bukan begitu cara terbaik menikmati kopi. Aku harus menunggu sampai bubuk-bubuk kopi mengendap di dasar cangkir. "Sabar, Fran!!!", kataku pada diri sendiri. Sambil menunggu kopiku tanak, aku ingat pesanmu sebelum aku beranjak kerja pagi ini. "Mas, ingat hari ini, kan? Pulangnya lebih cepat, ya. Aku akan masak makanan kesukaanmu." , katamu berpesan dengan mata berbinar. Aku mengingat hari ini, tepat setahun yang lalu, aku menikahi Merida, istriku. Aku masih tak menyangka, akhirnya kami hidup bersama. Aku hanyalah lelaki biasa, sedangkan Merida seorang anak dari keluarga terpandang. Namun, aku tak pernah mau mengungkit-ungkit soal perbedaan status sosial kami. Aku ingat, terakhir kali aku membahasnya, dia marah. Sesuatu yang sangat jarang ia lakukan, marah. Sejak saat itu, aku berusaha untuk tidak membicarakan tentang hal itu lagi. Sampai saat ini, kami masih tinggal di sebuah rumah kontrakan. Betapa bersyukurnya aku disandingkan dengan Merida. Saat aku meminta maaf karena belum mampu membeli rumah sendiri, ia selalu berkata, sambil tersenyum manis, "Mas, sudahlah. Memangnya kenapa kalau ngontrak, kan ngga dosa? Aku malah ngga mau kalau kita berhutang dan terlilit riba, hanya karena ingin punya rumah sendiri. Rumah itu bukanlah berwujud benda, rumah adalah perasaan nyaman yang kita dapatkan kala berada di dalamnya. Dan Mas tahu, aku merasa nyaman di sini, di samping Mas Fran." Aku haru mendengar jawaban Merida kala itu. Alhamdulillah... Ah, aku tahu!!! Nanti sepulang kerja, aku akan mampir ke toko bunga. Akan kubelikan Merida seikat bunga kesukaannya. Aku memang bukan pria romantis. Namun, Merida mampu membuatku bisa berusaha berlaku romantis, untuk bisa selalu melihat binar matanya dan senyum manisnya. Di dalam ikatan bunga, akan kuselipkan dua kata, maaf dan terima kasih. Ya, dua kata itu sangat dicintai Allah, apalagi manusia, ciptaan Allah, pikirku. Dear Merida, istriku, Maafkan aku, setahun berlalu, aku belum mampu membahagiakanmu seutuhnya. Maafkan aku, atas segala kesalahan dan kelalaianku memperhatikanmu. Kamu tahu, aku selalu berusaha mewujudkan mimpi-mimpi kita. Sayang, terima kasih engkau selalu sabar melewati hari-hari bersamaku. Terima kasih, engkau selalu meyakinkanku, mendorongku di saat aku ragu. Aku akan terus berusaha memahamimu. Aku ingin melihat binar matamu dan senyum manismu setiap waktu. Suamimu, Fran Sementara, kopiku makin tanak, inilah waktu terbaik menikmatinya. Segera kuhabiskan, jam kerja hampir datang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar