Kamis, 20 Agustus 2015

Menyongsong Kemerdekaan

Dirgahayu Indonesia! Selamat bertambah usia, Negaraku! Hal-hal yang mengenai kemaslahatan rakyat, semoga dapat ditingkatkan secara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Jika kita menengok kembali ke masa lalu, perjuangan untuk merdeka telah dimulai sejak Nabi Adam as., berperang melawan bujuk rayu Iblis. Dilanjutkan dengan nabi-nabi setelahnya. Sampai kemudian masa penjajahan bernama Jahiliyah menguasai muka bumi. Junjungan kita, Nabi Muhammad saw. diutus untuk memimpin perjuangan melawan Jahiliyah.

Beliau saw. adalah manusia mulia yang penderitaannya paling hebat diantara penghuni seisi dunia. Perjuangan beliau memimpin umat manusia melawan zaman kegelapan merupakan tinta emas dalam sejarah peradaban manusia. Belenggu dosa dan kebodohan telah merenggut kemerdekaan manusia untuk merasakan lezatnya iman.

Apalah artinya kemerdekaan ragawi, apabila jiwa kita masih terbelenggu hawa nafsu? Sungguh, kemerdekaan jiwa adalah kunci untuk meraih kemerdekaan seutuhnya. Ketika jiwa kita telah mampu mengalahkan bisikan negatif dan sanggup mengendalikan hawa nafsu, maka lentera jiwa akan memancarkan sinar terang penunjuk jalan kemerdekaan hakiki.

Saat sinar jiwa terpancar, titian kemerdekaan akan kian mudah diarungi. Saat sinar jiwa terpancar, sinyal-sinyal Jahiliyah akan mudah dideteksi dan dihindari. Artinya, kita berada beberapa langkah lebih unggul dibanding penjajah jiwa tersebut.

Kini, Jahiliyah menjelma dalam bentuk yang beraneka. Mampukah kalian mengenalinya? Belenggu Jahiliyah memburu dan menyandera kita dengan begitu cerdik. Ini adalah perjuangan yang berat. Namun, apabila kita semua menyadari siapa musuh kita sebenarnya, lalu meneguhkan jiwa dan merapatkan barisan, tentu penjajahan akan semakin ringan untuk dilumpuhkan.

Indonesia kini, membutuhkan lebih dari sekedar kemerdekaan ragawi. Untuk mengatasi kompleksifitas masalah yang tanah air kita alami, dibutuhkan kemerdekaan yang hakiki, jiwa dan raga. Jika kita semua mampu menyadarinya dan mulai mengalahkan Jahiliyah dalam diri kita, tentu kita tak perlu menunggu 350 tahun lagi untuk merdeka.

Merdeka!

Minggu, 26 Juli 2015

Perjalanan



Beberapa saat yang lalu, gugusan hari-hari yang agung nan suci bernama Ramadhan menyapa kita. Sebagian dari kita mendatanginya lalu berjalan dengannya sepenuh hati. Sementara yang lainnya tidak terlalu ambil pusing dengan kedatangannya. Bagi mereka yang mengkhidmati bulan Ramadhan, akan menyadari bahwa ini adalah kesempatan besar untuk mengisi penuh tangki iman mereka. Dalam benak mereka, Ramadhan adalah sebuah perjalanan suci dalam rangka membekali diri untuk menempuh perjalanan panjang sebelas bulan selanjutnya.

Ya, hidup kita di dunia ini adalah rangkaian perjalanan yang terdiri dari bagian-bagian perjalanan yang lebih sederhana dan lebih sederhana lagi. Perjalanan detik menuju menit, bayi yang terus bertambah umurnya, kesempitan kepada kelapangan, sakit menjadi sehat, lalai kemudian ingat atau hidup lalu mati. Satu hal yang pasti dalam perjalanan-perjalanan itu adalah tidak ada keabadian di dalamnya. Kita tak pernah tahu kapan keadaan yang sedang kita alami saat ini akan berganti rupa. Yang jelas, kita semua sedang menempuh sebuah perjalanan besar menuju perjalanan yang jauh lebih besar lagi.

Sudah jamak diketahui bahwa kehidupan di akhirat adalah satu-satunya kehidupan yang kekal. Apakah kita sudah benar-benar paham makna kekekalan itu? Kabar baiknya, kita tidak diminta untuk menemukan rumus besar tentang kekekalan kehidupan akhirat. Kita hanya diminta untuk meyakininya. Jika kekekalan itu juga terdiri dari unsur kenikmatan dan kepedihan, maka seharusnya tanpa dikomando, dengan akal sehat kita, tentulah menginginkan kekekalan hidup dalam kenikmatan.  
Ramadhan hadir menyapa ke tengah-tengah umat dengan membuka gudang-gudang besar perbekalan terbaik untuk menempuh sebuah perjalanan. Pahala sebuah kebaikan dilipatgandakan dengan begitu besar. Gemblengan ketaatan disuntikkan rutin selama sebulan. Sendi-sendi iman yang kering, mulai bersemi memercikkan harumnya kepada sesama. Semua ini seolah pertanda bahwa perjalanan sebelas bulan ke depan tak pernah semakin mudah untuk dilalui. Bagi mereka yang memahami betul makna sebuah perjalanan, pastilah akan menyusun bekal-bekal terbaik untuk menempuhnya. Dan, sebaik-baik bekal dalam sebuah perjalanan adalah ketakwaan.

Minggu, 24 Mei 2015

Harta Karun

Dalam titian jalan ibadah, terdapat sebuah harta karun yang sangat berharga. Harta karun itu bernama takwa. Apabila kita memilikinya, kita akan memperoleh keuntungan yang besar, ilmu pengetahuan yang luas dan bermanfaat, harta spiritual, kesuksesan yang cemerlang dan pahala berupa surga. Allah menggabungkan seluruh keuntungan dan kebaikan dunia, agama dan akhirat di dalam takwa.

Berikut ini adalah beberapa keutamaan dari takwa:

1. Pujian bagi orang yang bertakwa
Allah berfirman dalam surat Ali 'Imran ayat 186,

"Jika kalian bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan."

2. Mendapatkan penjagaan dan perlindungan dari musuh
Allah berfirman dalam surat Ali 'Imran ayat 120,

"Jika kalian bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka sedikit pun tidak akan mendatangkan kemudharatan bagi kalian."

3. Mendapatkan dukungan dan kemenangan
Allah berfirman dalam surat An-Nahl ayat 128,

"Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan."

Allah juga berfirman dalam surat Al-Jatsiah ayat 19,

"Dan Allah adalah pelindung bagi orang-orang yang bertakwa."

4. Diselamatkan dari kesulitan-kesulitan dan diberi rezeki yang halal
Allah berfirman dalam surat Ath-Thalaq ayat 2-3,

"Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya."

5. Diperbaiki amalnya
Allah berfirman dalam surat Al-Ahzab ayat 70-71,

"Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagi kalian amalan-amalan kalian."

6. Mendapatkan pengampunan dari dosa
Allah berfirman dalam surat Al-Ahzab ayat 71,

"Dan mengampuni bagi kalian dosa-dosa kalian."

7. Dicintai oleh Allah
Allah berfirman dalam surat At-Taubah ayat 4,

"Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa."

8. Diterima amalnya
Allah berfirman dalam surat Al-Maidah ayat 27,

"Sesungguhnya Allah hanya menerima (amalan) dari orang-orang yang bertakwa."

9. Mendapatkan kemuliaan dan kehormatan
Allah berfirman dalam surat Al-Hujurat ayat 13,

"Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kalian."

10. Mendapatkan kabar gembira di dunia dan akhirat
Allah berfirman dalam surat Yunus ayat 63-64,

"(Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat."

11. Selamat dari api neraka
Allah berfirman dalam surat Maryam ayat 72,

"Kemudian Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertakwa."

Allah juga berfirman dalam surat Al-Lail ayat 17,

"Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling bertakwa itu dari api neraka."

12. Mendapat anugerah kehidupan yang kekal di dalam surga
Allah berfirman dalam surat Ali-'Imran ayat 133,

"Yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa."

Sedangkan, khusus yang berkenaan dengan soal ibadah, ada 3 keuntungan yang bakal didapatkan oleh orang yang bertakwa, yaitu:

1. Mendapatkan taufiq dan bantuan dari Allah
Allah berfirman dalam surat At-Taubah ayat 36,

"Bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa (mutaqqin)."

2. Diperbaiki amalnya dan disempurnakan kekurangannya
Allah berfirman dalam surat Al-Ahzab ayat 71,

"Niscaya Allah memperbaiki bagi kalian amalan-awalan kalian."

3. Diterima amalnya
Allah berfirman dalam surat Al-Maidah ayat 27,

"Sesungguhnya Allah hanya menerima (amalan) dari orang-orang  yang bertakwa."

Ibadah itu bertumpu pada ketiga perkara tersebut. Pertama-tama memperoleh taufiq, agar kita dapat beramal. Kemudian diperbaiki kekurangan-kekurangannya, sehingga menjadi lebih sempurna. Setelah itu, diterima amalnya apabila telah sempurna.

Hendaknya kita para penempuh jalan ibadah, memohon kepada Allah Ta'ala secara sungguh-sungguh dalam do'a,

"Ya Tuhan kami, berilah kami taufiq untuk menaati-Mu dan sempurnakan kekurangan kami serta terimalah persembahan kami."

Allah menjanjikan segala keutamaan tersebut karena rasa takwa yang ada pada hamba-Nya. Dan mereka dimuliakan oleh Allah, baik mereka meminta ataupun tidak. Maka, apabila kita ingin memperoleh kebahagiaan dan kesejahteraan di dunia dan akhirat, hendaknya kita bertakwa.

Sabtu, 23 Mei 2015

Memenangkan Pertempuran

Yahya bin Mu'adz rh. mengatakan, "Setan itu tidak memiliki pekerjaan, sedang engkau mempunyai banyak kesibukan lain. Setan melihatmu, sedang engkau tidak melihatnya. Engkau melupakannya, sementara setan tidak pernah sedetik pun melupakan tugasnya untuk menyesatkanmu. Dan setan memperoleh bantuan dari nafasmu untuk mengalahkanmu. Maka engkau harus memerangi dan mengalahkannya. Kalau tidak, maka engkau tidak akan aman dari ancaman kehancuran akibat ulahnya."

Allah memerintahkan kepada kita semua untuk memerangi dan menundukkan setan. Setidaknya, ada 2 alasan tentang hal ini:

1. Setan adalah musuh yang menyesatkan dan nyata. Tidak dapat diharapkan kebaikan darinya. Bahkan, sejak awal ia hanya punya 1 keinginan, yaitu membinasakan kita. Maka, kita tidak boleh lengah darinya.

Allah berfirman dalam surat Yasin ayat 60,

"Bukankah Aku telah memerintahkan kepada kalian, wahai Bani Adam, supaya kalian tidak menyembah setan? Sebab sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kalian."

Demikian pula pada surat Fatir ayat 6, Allah berfirman,

"Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagimu, maka jadikanlah ia sebagai musuh(mu)."

2. Setan memang diciptakan untuk memusuhi kita dan selamanya ia siaga untuk memerangi kita. Di tengah malam maupun di siang hari, setan terus membidik kita dengan panahnya, terlebih ketika kita sedang lengah.

Setan juga mendatangkan kesulitan lain bagi kita, yaitu di saat kita sedang beribadah dan mengajak orang lain menuju pintu Allah. Apa yang setan lakukan adalah kebalikan dari yang seharusnya kita kerjakan. Setan akan mengerahkan segala upaya untuk mendorong kita jatuh ke dalam jurang kehancuran.

Setan juga bersikap jahat dan melawan kepada orang yang tidak menentangnya, bahkan yang sejalan dengannya. Seperti orang-orang kafir, orang-orang yang sesat, penyebar bid'ah dan orang-orang yang memiliki ambisi kuat pada dunia.

Kepada orang-orang yang tidak menentangnya saja, setan bersikap seperti itu, apalagi terhadap orang yang berani melawannya dan mengibarkan bendera perang terhadapnya.

Apabila kepada yang lain permusuhan setan itu bersifat umum, maka terhadap orang yang bersungguh-sungguh dalam beribadah dan menekuni ilmu, setan menjadikan mereka sebagai musuh khusus. Setan akan mencoba cara terbaik untuk mengalahkan mereka, apalagi bila dia memiliki penolong-penolong yang membantunya untuk melawan mereka. Penolong yang paling berbahaya itu adalah hawa nafsu.

Bagaimana strategi untuk mengalahkan setan?

Setidaknya ada 4 cara mengalahkan setan:

1. Memohon perlindungan hanya kepada Allah Ta'ala
Setan itu ibarat anjing. Allah memberikan kesempatan padanya untuk menyesatkan kita. Jika kita menyibukkan diri untuk memerangi dan menundukkannya, maka kita akan kelelahan dan kehabisan waktu karenanya, sehingga setanlah yang kemudian menang, melumpuhkan dan melukai kita. Maka, cara yang terbaik adalah meminta perlindungan kepada Pemilik anjing tersebut.

Salah satun caranya adalah terus-menerus berzikir kepada Allah, baik dengan lisan maupun hati kita. Rasulullah saw. pernah bersabda,

"Bahwa kedudukan zikrullah terhadap setan adalah bagaikan luka pada anak Adam (manusia)."

2. Melakukan mujahadah (latihan dan disiplin spiritual secara keras)
Setelah kita memohon perlindungan kepada Allah dari godaan setan, kita juga wajib bermujahadah. Karena, Allah menguji keseriusan ibadah hamba-Nya lewat godaan setan yang lebih berat. Kadang, Allah Ta'ala menjadikan orang-orang kafir menguasai kita, sekalipun Dia mampu membuat kita lebih kuat dari mereka. Hal ini dimaksudkan agar kita mendapatkan bagian dari pahala jihad dan kesyahidan yang sangat besar nilainya, disamping kesabaran dan dalam rangka penyucian hati.

Allah Ta'ala berfirman dalam surat Ali 'Imran ayat 140,

"Dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir). Juga supaya sebagian kalian dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada."

Allah juga berfirman dalam surat Ali 'Imran ayat 142,

"Apakah kalian mengira, bahwa kalian akan dimasukkan ke dalam surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antara kalian dan belum nyata orang-orang yang bersabar."

3. Mengenal dan mempelajari perangkap serta tipu daya setan
Jika setan tahu bahwa kita telah menguasai perangkap dan tipu dayanya, maka dia tidak berani mendekati kita. Ini ibarat seorang pencuri, yang segera lari menghindar karena ia merasa pemilik rumah bangun dan mengetahui keberadaannya.

4. Jangan pernah menanggapi ajakan setan
Ajakan setan itu ibarat anjing yang menggonggong, dimana apabila kita mendatanginya, maka ia akan menyerang dan menggigit kita. Akan tetapi jika kita menghindarinya, maka lama-lama ia akan diam.

Jumat, 22 Mei 2015

Menjaga Jarak

Abdullah bin 'Amr bin 'Ash ra. meriwayatkan, "Ketika kami tengah berada di sekeliling Nabi Muhammad saw., tiba-tiba disebutkan tentang suatu fitnah."

Lalu, beliau saw. bersabda,

"Apabila kalian melihat manusia telah merusak janjinya, meremehkan amanah, saling bertikai satu sama lain menjadi seperti ini (sambil beliau merangkai jemarinya)."

Kemudian aku bertanya, "Lalu, apa yang harus kita perbuat pada saat itu?"

Beliau saw. menjawab,

"Tetaplah tinggal di rumahmu dan kendalikan lidahmu. Ambillah apa yang engkau tahu dan tinggalkan apa yang hatimu menolaknya. Juga hendaknya engkau memperhatikan urusan pribadimu dan tinggalkan urusan masyarakat umum darimu."

Nabi Muhammad saw. juga bersabda kepada Al-Harits bin 'Umairah ra.,

"Jika engkau diberi umur panjang, maka akan datang kepadamu suatu masa yang padanya banyak orang yang ahli berpidato, namun sedikit yang 'alim, banyak meminta dan sedikit memberi. Pada saat itu, hawa nafsu menjadi pemimpin bagi ilmu."

Al-Harits bertanya, "Kapan hal itu terjadi?"

Beliau saw. menjawab,

"Apabila shalat telah ditinggalkan, berbagai ragam uang sogokan (pelicin) telah diterima dan agama dijual dengan murah. Jika engkau menemui yang seperti itu, maka carilah keselamatan, carilah keselamatan. Jika tidak, maka celakalah engkau."

Semua yang disebutkan di dalam riwayat dari Nabi saw. tersebut, kini telah kita lihat sendiri. Hal-hal tersebut terjadi pada zaman sekarang.
Keselamatan yang dimaksudkan oleh Rasulullah saw. salah satunya terdapat pada ber'uzlah. 'Uzlah adalah kegiatan menjaga diri dari masyarakat.

'Uzlah di masa kini menjadi hal yang mendesak bagi para ahli ibadah. Ini dikarenakan, apabila seorang ahli ibadah terus-menerus berada dalam lingkaran masyarakat yang disebutkan pada riwayat sebelumnya, dikhawatirkan akan membahayakan jalan para ahli ibadah tersebut.

Ada 2 hal yang mendukung sikap menjaga diri dari masyarakat:

1. Manusia dengan sifat-sifat buruk dalam riwayat tersebut akan membuat seorang ahli ibadah sibuk dan berpaling dari ibadahnya.

Sufyan Ats-Tsauri rh. berkata, "Demi Allah, yang tidak ada Tuhan selain-Nya, telah tiba waktunya melakukan 'uzlah pada masa ini."

Sufyan Ats-Tsauri juga pernah menulis surat kepada 'Abbad Al-Khawwash,

"'Amma ba'du, sesungguhnya engkau telah berada pada masa dimana para sahabat Rasulullah saw. meminta perlindungan kepada Allah Ta'ala ketika akan menjumpainya, seperti yang telah sampai beritanya kepada kami. Padahal, kita tidak ada apa-apanya dibanding mereka dalam soal ilmu, kesabaran dan bekerjasama dalam kebenaran dan kebaikan. Kejahatan semakin tinggi di masa kita ini dan akhlah manusia semakin rusak."

Umar bin Khaththab ra. pernah berkata, "'Uzlah itu membebaskan diri kita dari orang-orang jahat."

Selanjutnya, ulama-ulama terdahulu lainnya juga menekankan pentingnya ber'uzlah pada masa kini.

Fudhail bin Ayaz rh. mengatakan, "Ini adalah zaman dimana engkau seharusnya menjaga lidahmu dan merahasiakan tempatmu, mengobati ha hatimu, mengambil apa yang engkau ketahui serta meninggalkan apa yang tidak engkau sukai."

Daud Ath-Tha'i berpesan, "Bisukan dirimu dari dunia dan jadikan akhirat sebagai makananmu. Berlarilah dari manusia, sebagaimana engkau berlari dari harimau."

Sedangkan, Abi 'Ubaidah rh. menuturkan, "Aku tidak bertemu dengan seorang bijak bestari, melainkan pada akhir perkataannya ia berpesan kepadaku, 'Jika engkau senang tidak dikenal oleh manusia, maka engkau akan dipedulikan oleh Allah Ta'ala."

2. Manusia itu bisa merusak ibadah yang telah kita lakukan. Mereka bisa membuat kita menjadi riya' dan bermegah-megahan.

Yahya bin Mu'adz rh. mengatakan, "Pandangan manusia itu merupakan hamparan menuju riya'."

Seseorang pernah memberi saran kepada Sulaiman Al-Khawwash rh. untuk menemui Ibrahim bin Adham rh. yang datang di kotanya. Tapi, Al-Khawwash menjawab, "Aku lebih suka bertemu dengan setan jahat daripada bertemu dengannya. Aku takut jika bertemu dengannya, maka aku akan riya' dan membaik-baikkan sikapku kepadanya. Sementara kalau bertemu dengan setan, pasti aku akan melindungi diri dari godaannya dan aku tak peduli dengan penampilanku."

Inikah keadaan orang-orang yang zuhud dan orang-orang yang melatih jiwanya (riyadhah) dalam pertemuan-pertemuan mereka.

Hendaknya kita menyadari bahwa zawan telah mengalami kerusakan parah dan manusia telah menjadi ancaman yang sangat besar. Mereka sanggup menyibukkan kita dari beribadah kepada Allah Ta'ala. Mereka juga berpotensi merusak apa yang telah kita hasilkan.

Lalu, bagaimana penjelasan dari ber'uzlah yang sesuai dijalankan pada masa kini?

Dalam masalah 'uzlah ini, manusia terbagi dalam dua kelompok:

1. Orang yang memiliki ilmu agama dan hikmah
Bagi orang seperti ini, yang lebih utama adalah menjaga jarak dengan manusia lainnya. Pengecualian hanya pada waktu shalat berjama'ah, berhaji, majelis ilmu, mencari nafkah keluarga dan kegiatan dalam rangka keagamaan lainnya. Selain itu, sebaiknya ia menjaga jarak dari berkumpul dengan manusia, agar tidak terpeleset ke dalam kegiatan yang tidak bermanfaat.

2. Orang yang berilmu yang dibutuhkan manusia untuk mengajarkan urusan agama
Orang seperti ini tidak diperkenankan untuk ber'uzlah. Ia justru harus berada di tengah-tengah umat sebagai pemberi nasehat, menjadi pembela agama Allah dan menjelaskan hukum-hukum-Nya.

Rasulullah saw. bersabda,

"Apabila bid'ah telah nyata dan orang 'alim mendiamkannya, maka ia mendapat laknat Allah (atas sikap diamnya itu)."

Dalam bergaul dengan sesama manusia, seorang ahli ibadah dan ahli ilmu mesti memiliki 2 hal penting:

A. Memiliki tingkat kesabaran dan kesantunan yang tinggi, pandangan yang cermat dan senantiasa memohon pertolongan kepada Allah Ta'ala

B. Fleksibel dalam bergaul
Secara maknawi bisa saja menjaga jarak dari manusia, tapi secara ragawi tetap berada bersama mereka. Jika diajak bicara, maka bicaralah dengan mereka. Jika mereka berada dalam kebenaran serta kebaikan, maka hendaknya ia membantu mereka. Jika mereka berpaling kepada hal-hal yang tidak berguna dan buruk, maka hendaknya ia tidak larut dengan mereka. Ia bisa juga membantah mereka dan memberi peringatan kepada mereka.

Hendaknya, ia melaksanakan semua hak seorang muslim pada muslim lainnya, seperti menziarahi, menjenguk bila sakit dan membantu kebutuhan sesamanya.

Di samping itu, secara bersamaan, ia juga harus memperbaiki dirinya sendiri secara khusus serta rajin menegakkan ibadah-ibadah sunnah yang lainnya.

Umar bin Khattab ra. mengatakan, "Jika aku tidur di malam hari, berarti aku menyia-nyiakan diriku. Dan jika aku tidur di siang hari, berarti menyia-nyiakan rakyatku. Maka bagaimana aku akan tidur di antara keduanya?"

Jadi, orang dalam kategori kedua ini tetap perlu berada di tengah-tengah masyarakat. Akan tetapi, hatinya tetap waspada terhadap mereka.

Abdullah bin Mas'ud ra. berkata, "Berbaurlah dengan manusia, tapi jangan buang imanmu."

Waktunya akan tiba, dimana fitnah telah bermunculan, berbenturan satu dengan lainnya. Masyarakat tenggelam dalam kerusakan dan para pemimpin telah meninggalkan agama dan tak memperhatikan urusan umat, baik kebutuhan mereka maupun melindungi keselamatan mereka. Mereka tak lagi memedulikan ulama, tidak peduli pada kemajuan masyarakat dan menjadikan agama sebagai barang mainan. Itulah alasan untuk ber'uzlah. Dikhawatirkan jika kita tidak mampu menjaga diri, kita akan terhanyut dalam gelombang kehancuran.

Inilah penjelasan tentang 'uzlah atau menjaga diri dari masyarakat. Semoga kita bisa memahami maknanya secara tepat. Hanya kepada Allah-lah kita memohon bimbingan.

Lelaki Akhirat di Perantauan

Dunia adalah tempat perantauan bagi manusia. Kita hidup di dunia untuk sebuah tujuan. Sedangkan, rumah abadi kita adalah akhirat. Hendaknya kita senantiasa memahami tujuan penciptaan kita di dunia ini.

Allah tidak menciptakan jin serta manusia melainkan untuk beribadah kepada-Nya. Firman Allah dalam surat Adz-Dzariyat ayat 56,

"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku."

Oleh karena itu, jalan menuju keridhaan-Nya terbentang dengan jelas bagi orang-orang yang mau menempuhnya. Penunjuk arahnya pun tampak dengan nyata bagi orang-orang yang mau melihatnya. Walau demikian, Allah swt. menyesatkan siapa-siapa yang Dia kehendaki dan memberi petunjuk kepada siapa saja yang Dia kehendaki pula.

Zaman telah banyak berubah. Di tengah perubahan zaman yang kian mendekati akhir ini, fungsi dan pentingnya ibadah semakin menjadi kebutuhan. Namun, jalan ibadah tak selalu mulus. Jalanan ini penuh dengan semak belukar, menanjak, penuh rintangan, sangat berat dan jaraknya cukup jauh untuk dilalui.

Dalam buku ini, penyusun mencoba menghadirkan rute jalan ibadah menurut ulama-ulama terdahulu. Dibungkus dengan beragam pesan dan cerita hikmah yang diriwayatkan dari penempuh jalan ibadah yang telah lebih dulu merasakan perjalanan yang panjang.

Rute jalan ibadah dimulai dengan bahasan tentang ilmu dan ma'rifatullah. Lalu, berturut-turut dilanjutkan dengan taubat, godaan-godaan, kendala di jalan ibadah, dorongan dan motivasi, faktor-faktor perusak ibadah dan diakhiri dengan pembahasan mengenai pujian dan syukur.

Dengan adanya buku ini, diharapkan para penempuh jalan ibadah dapat mengaplikasikan nilai-nilai hikmah yang terkandung di dalamnya.

Kamis, 21 Mei 2015

Menantang Allah

Nabi Muhammad saw. bersabda, "Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan, meskipun hanya sebesar biji sawi."

Penyakit sombong menghapuskan seluruh jejak kebaikan dan kesalehan. Ini adalah dosa yang sangat buruk, yang membuat rusak amalan agama kita. Sombong dapat langsung menyerang keyakinan kita. Apabila sudah mengakar dalam hati, sombong akan sulit disembuhkan dan dampaknya akan meyebar kemana-mana.

Sombong adalah sifat dalam jiwa yang muncul dari penglihatan jiwa. Sedangkan perilaku sombong yang tampak secara lahir adalah hasil atau dampak dari sifat tersebut.

Nabi Muhammad saw. bersabda, "Aku berlindung kepada-Mu dari hembusan sifat sombong."

Sikap sombong dibedakan menjadi 3 bagian:

1. Sombong kepada Allah
Artinya tidak menjalankan apa saja yang diperintahkan Allah. Perilaku ini termasuk dalam kategori kekufuran.

2. Sombong kepada para rasul Allah
Artinya tidak tunduk kepada para rasul utusan Allah. Perilaku ini juga termasuk dalam kategori kekufuran.

3. Sombong kepada sesama makhluk
Artinya memamerkan apa yang dikaruniakan Allah kepadanya terhadap sesama makhluk. Perilaku ini termasuk perlawanan terhadap kebesaran Allah. Karena pada level tertentu, orang yang sombong menganggap dirinya layak ditaati. Padahal hanya Allah-lah yang pantas untuk ditaati.

Sikap sombong ini setidaknya mengandung 4 bahaya yang dahsyat pada pelakunya:

1. Hatinya buta
Ia akan terhalang dari kebenaran. Ia tak mampu melihat ayat-ayat Allah dan memahami hukum-hukum-Nya.

Allah berfirman dalam surat Al-A'raaf ayat 146,

"Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar."

Allah juga berfirman dalam surat Al-Mu'min ayat 35,

"Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yang sombong dan sewenang-wenang."

2. Dimurkai dan dibenci Allah

Allah berfirman dalam surat An-Nahl ayat 23,

"Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong."

Juga sebagaimana dialog antara Nabi Musa as. dengan Allah. Nabi Musa as. bertanya, "Wahai Tuhanku, siapakah makhluk-Mu yang paling Engkau benci?"

Allah Ta'ala menjawab, "Orang yang sombong, kasar lidahnya, memalingkan pandangan dari kebenaran, bakhil tangannya dan buruk perangainya."

3. Mendapat penghinaan dan siksaan di dunia dan akhirat

Hatim Al-Asham rh. berkata, "Hindarilah bertemu kematian dalam tiga keadaan: sombong; rakus dan angkuh. Orang yang sombong itu tidak akan bertemu kematian sebelum ia dihinakan oleh keluarga, kerabat dan para pelayannya. Sedangkan orang yang rakus, ia tidak menemui kematian sebelum hidup dalam kekurangan makanan dan minuman. Dan bagi orang yang angkuh, tidak dikeluarkan oleh Allah Ta'ala dari dunia ini sebelum ia dilumuri oleh kencing serta kotorannya sendiri."

Beliau juga berkata, "Siapa saja yang bersikap sombong atas sesuatu yang tidak dibenarkan, maka Allah Ta'ala akan mewariskan kepadanya kehinaan yang tidak ada kebaikan sedikit pun padanya."

4. Mendapat balasan neraka dan azab yang pedih di akhirat

Allah Ta'ala berfirman dalam hadits qudsi,

"Kesombongan itu adalah pakaian kebesaran-Ku dan keagungan itu adalah kain penghias-Ku. Oleh karena itu, siapa saja yang menyaingi Aku pada salah satu dari keduanya, maka Aku akan memasukkannya ke dalam Neraka Jahanam."

Maknanya, bahwa keagungan dan kesombongan itu adalah sifat yang khusus bagi Allah Ta'ala, maka ia tidak pantas disandang oleh selain-Nya.

Semoga Allah senantiasa mencurahkan taufiq-Nya kepada kita semua, agar terhindar dari kesombongan.

Rabu, 20 Mei 2015

Engkau Akan Sampai



“Jika tidak tergesa-gesa, engkau akan sampai.” Ini adalah sebuah perumpamaan yang cukup populer di telinga kita. Kurang lebih maksud dari perumpaan itu ialah, apabila kita berhati-hati dalam mencapai sesuatu, tentu kita akan selamat sampai tujuan.

Tergesa-gesa adalah melakukan sesuatu tanpa memikirkannya terlebih dahulu. Hendaknya sebagai seorang Muslim, kita senantiasa melakukan sesuatu dengan sabar dan penuh pertimbangan terkait manfaat dan kerugian dari sebuah perbuatan.

Tergesa-gesa dalam berbuat kebaikan dapat menjauhkan kita dari tujuan yang hendak dicapai. Tak jarang malah menjerumuskan kita kepada tindak kemaksiatan. Sifat tergesa-gesa atau terburu-buru ini berpotensi menyebabkan sekurang-kurangnya 4 macam penyakit:

1. Gagal dalam beristiqomah
 Saat mengerjakan suatu ibadah dengan maksud untuk mencapai kedudukan istiqomah, tapi bila dilakukan secara tergesa-gesa, akan melemahkan kekuatan seorang hamba. Ketergesaannya telah menguras kemauan kuatnya untuk istiqomah dalam beribadah. Sehingga hamba tersebut gagal mencapai tujuan untuk beristiqomah dalam beribadah. Sikap tergesa-gesa ini dapat mengakibatkan keadaan yang terkadang berlebihan atau terlalu longgar dalam beribadah. 

Rasulullah saw. bersabda,

“Sesungguhnya agama kita ini kokoh. Maka, masukilah ia dengan lembut. Sebab, tumbuhan itu todak menyisakan tempat yang keras (melainkan ditumbuhinya).”

2. Semakin jauh dari tujuan
 Ketika seorang hamba memiliki keperluan, kemudian ia berdoa kepada Allah Ta’ala untuk bisa mendapatkannya. Ia memperbanyak doanya serta bersungguh-sungguh memohon kepada Allah agar doanya dikabulkan sesegera mungkin. Lalu, hamba itu pun menyangka bahwa Allah pasti akan segera mengabulkan permohonannya. Hingga ketika Allah tidak mengabulkan doanya pada saat itu juga, hamba tersebut langsung lemah semangat dan putus asa. Yang terjadi selanjutnya dalah ia justru akan semakin jauh dari tujuan yang ingin dicapainya semula.

3. Melampaui batas
Suatu saat, seorang penempuh jalan agama diuji dengan kezaliman dari orang lain. Hamba tersebut pun marah karena kezaliman yang diterimanya. Lalu, dengan tergesa-gesa ia mendoakan orang itu agar mendapatkan celaka. Pada saat seperti itulah seorang Muslim bisa dikatakn telah melampaui batas. Selanjutnya jika ia terus lalai, maka hamba tersebut akan jatuh kepada kemaksiatan dan kebinasaan.
Allah Ta’ala berfirman dalam suarat Al-Isra’ ayat 11,
“Dan manusia berdoa untuk kejahatan, sebagaimana ia berdoa untuk kebaikan. Dan adalah manusia itu bersifat tergesa-gesa.”

4. Tidak memiliki sikap wara’
Dasar ibadah adalah wara’ dan dasar sikap wara’ adlaah memperhatikan secara teliti segala hal. Misalnya terhadap makanan, minuman, berbicara dan melakukan sesuatu. Orang seperti ini akan rusak sikap wara’nya. Karena ketergesaannya akan membuatnya terburu-buru dalam berbagai perkara dan tidak meneliti lebih dahulu secara seksama, berbicara apa saja hingga ia mengalami kesalahan, terburu-buru makan sampai jatuh pada apa yang diharamkan atau yang berstatus syubhat.

Tak ada ibadah tanpa sikap wara’. Maka, wajib bagi seorang hamba untuk mengobati dan melenyapkan penyakit suka terburu-buru ini. Hal ini dikarenakan dampak dari sikap terburu-buru, tidak hanya mengancam pelakunya, namun juga membahyakan bagi Muslim lainnya.

Untuk menciptakan kehati-hatian dalam hati kita, maka penting bagi kita untuk selalu mengingat akan bahaya dari suatu perbuatan yang kita lakukan. Selain itu, hendaknya kita juga mengingat keselamatan yang dijanjikan apabila kita membiasakan diri untuk berpikir sebelum bertindak. Sikap-sikap tersebut merupakan pendorong bagi kita untuk senantiasa cermat dan mampu mencegah kita dari sikap tergesa-gesa yang menjerumuskan.





Selasa, 19 Mei 2015

Engkau Pendusta!

Budail bin Maisarah Al-Uqail rh. berkata,

"Barangsiapa dengan ilmunya mengharapkan wajah Allah 'Azza wa Jalla, Allah akan menghadapkan wajah-Nya kepadanya dan juga memalingkan hati-hati hamba-Nya menuju kepadanya. Dan barangsiapa yang beramal untuk selain Allah 'Azza wa Jalla, Allah akan memalingkan wajah-Nya dan hati-hati hamba-Nya darinya."

Nasehat di atas ditujukan kepada kita, para penempuh jalan ibadah. Kita diingatkan untuk mewaspadai dan menjauhi sikap riya' dalam beribadah.
Riya' adalah melakukan amal dengan bertujuan selain kepada Allah. Biasanya pelaku riya' ingin mendapatkan pujian dari makhluk atas apa yang telah dilakukannya. Riya' merupakan syirik kecil. Sedangkan syirik sendiri merupakan salah satu dosa besar.

Riya' merupakan salah satu faktor yang bisa merusak ibadah kita. Kita harus senantiasa menjaga keikhlasan dari ibadah yang kita lakukan, hanya untuk mengharap ridha Allah semata.

Ada 2 alasan mengapa kita harus menjauhkan diri dari sikap riya':

1. Amal tidak diterima
Amal perbuatan yang diterima di sisi Allah hanyalah amal yang dilakukan dengan ikhlas. Jika dilakukan dengan riya' atau tidak ikhlas karena Allah semata, maka amal tersebut tertolak.

Dalam sebuah hadits qudsi, Rasulullah saw. bersabda,

"Sesungguhnya Allah Ta'ala berfirman, 'Aku adalah Rabb yang paling tidak membutuhkan sekutu. Siapa saja yang melakukan suatu perbuatan, kemudian Aku disekutukan padanya dengan selain-Ku, maka bagian-Ku untuknya. Sebab, Aku tidak menerima kecuali yang dipersembahkan secara murni untuk-Ku.'"

Disebutkan pula, bahwa kelak pada hari kiamat, Allah berfirman kepada hamba-Nya yang tengah mencari pahala amalannya,

"Bukankah Aku dulu telah memberimu tempat yang khusus dan baik di dunia? Bukankah engkau sudah Aku jadikan sebagai pemimpin di dunia? Bukankah Aku sudah memberi kemudahan bagimu dalam berbisnis? Bukankah Aku sudah menjadikanmu dimuliakan oleh orang di dunia?"

Maksudnya, Allah telah membalas semua amal hambanya itu di dunia. Sedangkan di akhirat ia tidak mendapatkan apa-apa. Inilah akibat jika tidak ada keikhlasan dalam amal kita.

2. Riya' mengandung aib dan musibah
Terdapat dua aib dan dua musibah dalam perbuatan riya'.

Aib pertama merupakan rahasia, sehingga malaikat pun tidak bisa melihatnya. Ini bisa kita ketahui dari sebuah riwayat, dimana para malaikat naik ke langit dengan membawa amal manusia yang mereka yakini amat baik. Tapi, kemudian Allah Ta'ala berfirman,

"Kembalikan amalan itu ke asalnya, sebab ia tidak dimaksudkan untuk-Ku."

Kemudian amal dan hamba tersebut dicela oleh para malaikat.

Aib yang kedua, terbuka untuk dilihat oleh seluruh makhluk Allah di Hari Pengadilan nanti.

Nabi Muhammad saw. bersabda,

"Sesungguhnya orang yang riya' itu pada hari kiamat dipanggil dengan 4 nama, 'hai kafir, hai pendosa, hai pengkhianat dan hai orang yang rugi.' Telah sesat usahamu dan batal pahalamu. Maka tidak ada bagian bagimu hari ini, carilah pahala dari orang yang engkau beramal untuknya, wahai orang yang tertipu."

Dan diriwayatkan pula, di hari kiamat nanti akan ada pengumuman kepada seluruh makhluk,

"Mana orang yang menyembah manusia itu? Berdirilah, ambillah balasan kalian dari orang yang kalian beramal untuknya. Sesungguhnya Aku (Allah) tidak menerima amal yang dicampuri dengan sesuatu."

Perbuatan riya' juga menyebabkan 2 musibah besar bagi pelakunya.

Musibah pertama adalah terlepasnya surga. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Nabi Muhammad saw. mengatakan, surga dapat berbicara dengan mengatakan,

"Aku diharamkan terhadap setiap orang yang pelit dan bersikap riya'."

Musibah kedua adalah ia akan dimasukkan ke dalam neraka.

Dari Abu Hurairah ra., bahwa Nabi
Muhammad saw. bersabda,

"Orang yang pertama kali dipanggil pada hari kiamat kelak ialah para qari' (pembaca Al-Qur'an); orang yang telah berperang dan mati syahid di jalan Allah; serta orang yang memiliki banyak harta (kaya raya)."

Kemudian Allah 'Azza wa Jalla bertanya kepada sang qari', "Bukankah Aku telah mengajarkan kepadamu apa yang Aku turunkan kepada Rasul-Ku?"

Ia menjawab, "Benar, wahai Rabbku."

Lalu Dia bertanya kembali, "Apa yang engkau lakukan dengan apa yang telah Aku berikan kepadamu itu?"

Maka ia menjawab, "Aku membacanya di tengah malam dan siang hari."

Kemudian Allah swt. berfirman, "Dusta engkau!" Dan malaikat pun menimpali, "Engkau pendusta!"

Kemudian Allah Ta'ala berfirman, "Sebenarnya engkau ingin dipuji sebagai orang yang 'alim dan ahli membaca Al-Qur'an. Dan engkau sudah mendapatkan apa yang engkau harapkan!"

Lalu dihadapkan seorang yang kaya raya semasa hidupnya. Dan Allah Ta'ala bertanya kepadanya, "Bukankah aku telah memberi banyak harta dan kekayaan yang membuatmu terbebas dari kekurangan?"

Orang kaya itu menjawab, "Benar, wahai Tuhan."

Lalu Allah Ta'ala bertanya, "Apa yang engkau perbuat dengan apa yang telah Aku berikan kepadamu itu?"

Ia menjawab, "Aku telah menyambung hubungan kekeluargaan dan bersedekah."

Kemudian Allah swt. berfirman, "Dusta engkau!" Malaikat pun ikut menimpali, "Engkau pendusta!"

Kemudian Allah berfirman, "Engkau sebenarnya ingin dipuji sebagai dermawan dan engkau telah mendapatkan sebutan itu."

Kemudian didatangkan orang yang mati syahid. Allah bertanya kepadanya, "Apa yang engkau lakukan di dunia?"

Orang itu menjawab, "Aku diperintahkan untuk berjihad di jalan-Mu, maka aku pun berperang dan terbunuh."

Tapi Allah Ta'ala berfirman, "Dusta engkau!" Malaikat pun ikut mengatakan, "Engkau pendusta!"

Dan Allah Ta'ala berfirman, "Sebenarnya engkau ingin dikatakan pemberani dan heroik, dan itu telah engkau dapatkan."

Abu Hurairah ra. mengatakan, "Kemudian Rasulullah saw. menepuk kedua lututku dengan tangan beliau, seraya bersabda, 'Hai Abu Hurairah, mereka itu adalah makhluk Allah yang pertama kali merasakan panasnya api neraka.'"

Abdullah bin Abbas ra. berkata,

"Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, 'Sesungguhnya api neraka dan penghuninya itu menjerit-jerit disebabkan orang yang riya'.'"

Kemudian beliau ditanya, "Wahai Rasulullah, bagaimana cara api neraka itu menjerit?"

Beliau menjawab, "Mereka menjerit akibat panasnya api neraka yang digunakan untuk menyiksa orang yang riya' itu."

Betapa dahsyatnya musibah yang harus ditanggung oleh para pelaku riya'. Semoga Allah Ta'ala memberikan hidayahnya kepada kita semua.

Senin, 18 Mei 2015

Terbakar Habis

Apa jadinya bila sebatang kayu dilemparkan ke dalam api yang menyala-nyala?
Apakah kayu tersebut dapat keluar dengan selamat dari kobaran api atau terbakar habis?

Sebelum menjawabnya, mari kita menyimak sabda Rasulullah saw. berikut ini,

"Enam golongan yang masuk neraka karena enam perkara: (1) Orang-orang Arab karena sikap ashabiyah (fanatisme kesukuan) mereka; (2) penguasa karena kezalimannya; (3) para tuan tanah dan pejabat karena kesombongan mereka; (4) para pedagang karena sifat khianat mereka; (5) orang dusun karena kebodohannya; (6) dan ulama karena sifat dengki (iri hati) yang ada pada diri mereka."

Coba kita perhatikan perkara ke-6 pada hadits di atas. Diriwayatkan bahwa iri hati dapat menyebabkan para pelakunya masuk ke neraka. Iri hati tak hanya menyerang orang awam. Dalam hadits tersebut, bahkan para ulama pun terancam masuk ke dalam neraka, dikarenakan sifat iri hati yang dikhawatirkan bercokol di dada mereka.

Iri hati adalah buah dari sikap dendam, sedangkan dendam adalah buah dari kemarahan. Orang yang memiliki sikap iri hati adalah orang yang tidak menyukai nikmat Allah yang dikaruniakan kepada saudaranya, sehingga ia merasa senang jika nikmat tersebut hilang dari saudaranya.

Betapa berbahayanya sikap iri hati (hasad) ini. Setidaknya ada 5 kerusakan yang bisa ditimbulkan dari sifat iri hati:

1. Merusak ketaatan

Rasulullah saw. bersabda,

"Hasad (iri hati) itu memakan pahala kebaikan, sebagaimana api memakan kayu bakar."

Inilah jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang ada pada pembahasan di bagian awal tadi. Kayu diibaratkan pahala dari kebaikan-kebaikan kita, sedangkan api adalah sikap hasad. Jelaslah, kayu yang kita lemparkan ke dalam nyala api, akan habis menjadi abu.

2. Hasad merupakan kemaksiatan dan kejahatan

Wahab bin Munabbih rh. mengatakan,

"Orang yang iri hati memiliki tiga tanda, yaitu: mencari muka apabila berhadapan, menjelek-jelekkan apabila tidak ada di hadapan kita dan bergembira apabila terjadi musibah pada diri orang lain."

Allah Ta'ala berfirman dalam surat Al-Falaq ayat 5,

"Dan dari kejahatan orang yang dengki apabila ia mendengki."

Cukuplah bagi kita, ayat tersebut untuk menggambarkan betapa jahatnya sikap dengki itu. Sehingga kita harus selalu waspada dan meminta perlindungan dari kejahatan para pendengki.

3. Hasad itu melelahkan dan menyusahkan pelakunya

Ibnu As-Samak rh. berkata,

"Aku tidak pernah melihat orang zalim yang lebih mirip dengan orang yang dizalimi daripada seorang pendengki, juga nafsu yang terus menguasai diri, akal yang tidak waras dan kesusahan yang senantiasa melekat kepada pelakunya."

4. Hasad membutakan hati

Orang pendengki akan sulit memahami hukum-hukum Allah 'Azza wa Jalla.

Sufyan Ats-Tsauri rh. berkata,

"Hendaknya engkau berdiam diri (tidak banyak bicara), niscaya engkau memiliki sifat wara'. Dan jangan berambisi pada dunia, niscaya engkau menjadi orang yang cepat menghafal. Juga jangan menjadi orang yang suka menjelek-jelekkan, niscaya engkau selamat dari omongan manusia. Serta jangan menjadi orang yang pendengki, niscaya engkau akan cepat memahami segala sesuatu."

5. Hasad menjauhkan dari pertolongan

Hasad akan menghalangi kita dari kebaikan dan membuat kita mudah tersesat. Kita akan sulit mendapatkan apa yang kita inginkan.

Hatim Al-Asham rh. mengatakan,

"Orang yang pendengki itu tidak memiliki agama. Dan orang yang suka mencela itu bukanlah seorang ahli ibadah. Sedang orang yang suka memfitnah tidak memperoleh keamanan dan orang yang memiliki sifat dengki tidak mendapatkan pertolongan."

Jika pendengki itu menginginkan hilangnya nikmat-nikmat Allah dari saudara-saudaranya, mana mungkin ia mendapatkan keinginannya? Lalu, jika musuh para pendengki adalah hamba Allah yang beriman, mana mungkin ia akan ditolong?

Oleh sebab itu, daripada kita membakar pahala kebaikan-kebaikan kita sendiri, alangkah baiknya jika kita memanjatkan do'a seperti Abu Ya'qub rh. berikut ini,

"Ya Allah, berikan kami kesabaran atas kesempurnaan nikmat yang Engkau anugerahkan terhadap para hamba-Mu dan atas kondisi baik mereka."

Aamiin.

Minggu, 17 Mei 2015

Terhalang Dari Kebaikan

Dikisahkan, seorang pemuda yang tengah berbelanja kebutuhan hidupnya untuk sebulan ke depan. Sesampainya di pasar, ia menyusuri lapak-lapak pedagang sambil bergumam,

"Apa yang akan aku makan nanti?"
"Apa yang akan aku minum nanti?"
"Pakaian apa yang akan aku pakai nanti?"
"Bagaimana menghadapi musim dingin yang datang sebentar lagi?"
"Bagaimana menghadapi musim panas yang akan datang kemudian?"

Berbagai macam pertanyaan yang lain berkecamuk di dalam benak pemuda tersebut. Hingga ia terjebak di dalam pasar bersama kebingungan yang tak berujung.

Nabi Muhammad saw. pernah bersabda tentang sahabat muda kala itu, Usamah bin Zaid,

"Tidakkah kalian heran dengan Usamah yang membeli gandum untuk keperluan sebulan? Sungguh, Usamah itu panjang angannya. Demi Allah, tidaklah aku meletakkan kaki, lalu aku mengira akan mengangkatnya, tidak satu suapan kemudian aku mengira akan mengunyahnya, sehingga tiba-tiba maut menjumpaiku. Demi jiwaku yang berada di tangan-Nya, sesungguhnya yang dijanjikan kepada kalian itu benar-benar akan datang. Sedangkan kalian tidak dapat berlepas diri darinya."

Dalam riwayat tersebut, Rasulullah saw. berpesan kepada kita semua agar tidak memanjangkan angan-angan.

Panjang angan-angan adalah penghalang atas segala bentuk kebaikan dan ketaatan, juga mendatangkan keburukan dan godaan. Setidaknya, ada 4 hal yang bisa disebabkan karena panjang angan-angan;

1. Malas beribadah
Dalam hati si panjang angan-angan akan terbersit, "Aku akan melakukan ibadah nanti. Waktuku masih panjang."

Yahya bin Mu'adz rh. mengatakan,

"Panjang angan itu penghalang bagi setiap kebaikan, sedang tamak mencegah setiap kebenaran. Kesabaran membawa kepada kemenangan dan nafsu mengajak kepada setiap keburukan."

2. Menunda-nunda taubat
Nafsu si panjang angan-angan berkata, "Aku akan bertaubat nanti, waktunya masih lama. Aku masih muda dan pintu taubat itu masih terbuka."

Kembali, Yahya bin Mu'adz berkata,

"Yang menghalangi manusia untuk bertaubat adalah panjang angan-angan."

Si panjang angan-angan lupa bahwa ajalnya akan tiba pada saat yang tidak terduga, sehingga ia meninggal dunia sebelum sempat bertaubat kepada-Nya.

3. Cinta harta dunia
Si panjang angan-angan akan berkata, "Aku takut miskin di masa tuaku, di saat aku sudah tak sanggup lagi berusaha. Maka aku harus mendapatkan harta banyak sekarang yang dapat aku simpan untuk berjaga-jaga kalau aku sakit, tua atau jatuh miskin."

Abu Dzar Al-Ghiffari ra. mengungkapkan,

"Sesungguhnya angan-anganku melampaui batas ajalku."

Angan-angan yang panjang akan mendorong kita untuk makin mencintai dunia dan mengumpulkan kekayaan darinya. Sehingga kita lalai untuk memanfaatkan waktu dan umur kita bagi kepentingan akhirat yang abadi.

4. Mengeraskan hati
Panjang angan-angan membuat kita lalai terhadap kematian di dunia dan kehidupan akhirat.

Ali bin Abi Thalib ra. mengatakan,

"Sesungguhnya yang paling aku takuti terhadap kalian itu ada dua. Yaitu, panjang angan dan mengikuti hawa nafsu. Ketahuilah, bahwa panjang angan itu menyebabkan lupa kepada akhirat, sedangkan mengikuti hawa nafsu itu menghalangi kita dari melihat kebenaran."

Kelembutan hati itu, antara lain diperoleh dari mengingat kematian di dunia dan kehidupan di akhirat. Sedangkan, jika melalaikan keduanya, maka hati akan mengeras.

Allah Ta'ala berfirman dalam surat Al-Hadid ayat 16,

"Kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka, lalu hati mereka menjadi keras."

Jadi, panjang angan-angan membuat si pelaku berkurang ketaatannya kepada Allah, menunda pertaubatannya, semakin banyak bermaksiat, ambisi semakin kuat, hati mengeras dan lalai dari akhirat.

Betapa sangat bahayanya panjang angan-angan. Untuk itu, pendekkanlah angan-angan kita. Kemudian kita patut mengambil pelajaran dari kematian saudara-saudara kita yang mendatangi mereka tanpa terduga.

Auf bin Abdullah rh. berkata,

"Berapa banyak orang yang memasuki suatu hari, namun tidak dapat menyelesaikan hari itu? Dan berapa banyak orang yang menanti hari esok, namun tidak dapat menjumpainya? Sekiranya engkau mengetahui ajal itu dan perjalanannya, maka tentu engkau benci berpanjang angan dan mengikuti tipuan dunia."

Sebuah pesan bijaksana dari Nabi Isa as.,

"Dunia itu ada 3 hari. Yakni, (1) hari kemarin yang telah berlalu, yang tidak dapat engkau raih kembali. (2) Hari esok yang engkau tidak tahu, apakah bisa engkau akan menjumpainya atau tidak? (3) Hari ini,  hari yang engkau masih miliki, maka manfaatkanlah ia dengan baik."

Semoga Allah Ta'ala memberikan taufiq-Nya kepada kita semua.

Sabtu, 16 Mei 2015

Timur dan Barat

Seorang lelaki berjalan ke arah barat. Ia mendapati dirinya semakin menjauh dari timur. Lalu, ia berjalan menuju timur. Kini, ia berjauhan dengan si barat.

Begitulah kiranya perumpamaan dunia dan akhirat. Apabila kita menyibukkan diri dengan dunia secara lahir, maka akan sulit untuk bisa menjalani ibadah dengan baik.

Abu Darda' ra. berkata,

"Aku telah berusaha keras untuk menggabungkan antara ibadah dan berdagang. Namun, keduanya tidak bisa bersatu."

Umar bin Khaththab ra. juga berkata,

"Apabila keduanya (dunia dan ibadah) itu bisa berkumpul pada diri seseorang selain aku, maka tentu keduanya dapat pula berkumpul dalam diriku. Sebab, Allah Ta'ala telah pula memberikan aku kekuatan dan kelembutan."

Orang yang lebih menyibukkan diri dalam urusan dunia hingga cenderung melupakan urusan hati, pasti dikarenakan ia lebih memperturutkan keinginan nafsunya.

Nabi Muhammad saw. bersabda,

"Siapa saja yang mencintai dunianya, maka ia telah membahayakan akhiratnya. Dan siapa yang mencintai akhiratnya, maka ia telah membahayakan dunianya. Maka, utamakanlah apa yang kekal daripada yang akan binasa."

Lantas, bagaimana sikap yang tepat dalam menyikapi kehidupan kita yang tak bisa lepas dari sumber daya alam yang ada di dunia ini?

Untuk menjawabnya, Salman Al-Farisi ra. menjelaskan,

"Sesungguhnya, jika seorang hamba itu berlaku zuhud pada dunia, maka hatinya akan dipenuhi dengan cahaya hikmah dan anggota tubuhnya akan bekerja sama dengannya dalam beribadah."

Dalam riwayat tersebut, terdapat kalimat 'zuhud pada dunia'. Makna zuhud adalah meninggalkan sesuatu dan menginginkan sesuatu yang lain. Sehingga zuhud terhadap dunia berarti meninggalkan dunia dan menginginkan akhirat. Sedangkan secara umum, zuhud terhadap dunia berarti bersikap sederhana terhadap dunia, lalu memanfaatkan yang halal darinya sesuai kebutuhan dalam rangka beribadah kepada Allah.

Apabila Allah menghendaki, maka Dia dapat menjadikan manusia hidup di dunia tanpa alat-alat dan materi yang diperlukan untuk hidup, seperti Dia menciptakan malaikat tanpa alat-alat untuk hidup. Namun sebaliknya, Dia juga dapat menjadikan hidup kita tergantung pada sumber alam di dunia dan alat-alat tertentu untuk hidup.

Allah juga kuasa menjadikan sumber-sumber kehidupan itu tersedia bagi kita, yang mana kita wajib mencarinya. Mungkin juga Allah menyediakan sumber-sumber kehidupan kita dari tempat tertentu yang tak pernah kita duga sebelumnya. Seperti yang dijelaskan dalam firman-Nya pada surat Ath-Thalaq ayat 2,

"Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya."

Zuhud kepada dunia merupakan solusi untuk melepaskan diri dari godaan dunia yang penuh dengan tipuan.

Allah berfirman dalam surat Al-Kahfi ayat 7,

"Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya."

Allah juga berfirman dalam surat Asy-Syu'ara' ayat 20,

"Barangsiapa menghendaki keuntungan di akhirat, maka akan Kami tambah keuntungan itu baginya. Dan barangsiapa yang menghendaki keuntungan di dunia, maka Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia, serta tidak ada baginya suatu bagian pun di akhirat nanti."

Dunia itu pasti berakhir, berapa pun lamanya ia ada. Sedangkan akhirat jelaslah kekal tak berujung.

Nabi Muhammad saw. memberikan nasehat untuk kita semua,

"Barangsiapa yang menjadikan dunia sebagai harapannya, maka Allah akan mempersulit urusannya, menyusahkan transaksi perdagangannya, menjadikan kefakiran berada di depan matanya dan tidak mendatangkan dunia kecuali yang sudah ditetapkan untuknya."

Selanjutnya,

"Barangsiapa yang menjadikan akhirat sebagai harapannya, maka Allah akan memperteguh jiwanya, menjaga pekerjaannya, menjadikan perasaan kaya berada dalam hatinya dan dunia akan mendatanginya dalam keadaan terhina."

Untuk itu, zuhudlah terhadap dunia. Ambillah dunia sesuai kebutuhan kita dalam rangka beribadah kepadanya. Jangan sampai kita tertipu akan muslihat dunia hingga mengorbankan kenikmatan yang kekal di akhirat.

Jumat, 15 Mei 2015

Mencari Kesembuhan

Ali bin Abi Thalib ra. berkata, "Tidak ada kebaikan di dunia kecuali milik salah satu dari dua orang, yaitu orang yang berbuat dosa lalu dia mengiringinya dengan taubat atau orang yang bersegera dalam kebaikan-kebaikan."

Suatu ketika, ada seorang hamba yang tengah lalai dari kewajibannya. Ia banyak menghabiskan malam dan siangnya untuk bermaksiat kepada Allah.

Sesampainya di rumah, sering ia luapkan amarahnya dengan berlaku kasar kepada istri dan anaknya. Dengan penuh kesabaran, istrinya memberikan pengertian kepada anaknya yang masih kecil. Dunia ini seolah begitu sempit di mata hamba itu.

Nabi Muhammad saw. bersabda, "Penyesalan itu adalah taubat."

Ketika anaknya semakin dewasa, hamba tersebut seolah tersadar. Guratan penyesalan nampak jelas dari raut wajahnya. Ia menyesali apa yang telah dilakukannya selama ini. Selanjutnya, air amarah yang dulu menghiasi wajahnya, berganti dengan air wudhu tanda ketaatan kepada Allah.

Aun bin Abdullah rh. berkata, "Hati orang yang bertaubat ibarat kaca. Semua yang mengenainya akan membekas padanya. Untaian nasehat cepat merasuk ke dalam hati mereka dan hati mereka cepat lunak. Sungguh, betapa banyak orang bertaubat yang digerakkan oleh taubatnya hingga ke surga, sehingga ia menjadi utusannya di sana. Dan duduklah bersama orang-orang yang bertaubat karena rahmat Allah lebih dekat kepada mereka."

Perjalanan hidupnya kemudian banyak dihiasi dengan haru. Langkah kakinya kembali ringan menyongsong adzan. Kehangatannya semakin merekah di tengah-tengah keluarganya. Lebih jauh lagi, ia semakin memberikan manfaat dan mengambil peran dalam setiap kesempatan di lingkungan sekitarnya.
Namun, lingkungan di mana ia berada tak sepenuhnya menerima taubatnya. Sering, ia menyendiri. Meluapkan isak tangis tanda hatinya makin melunak. Hingga, hari yang pasti datang itu pun tiba.

Dalam sebuah hadits Qudsi yang diriwayatkan oleh Rasulullah saw., Allah Ta'ala berfirman, "Sungguh Allah lebih gembira untuk menerima taubat hamba-Nya dikala hamba itu bertaubat kepada-Nya, melebihi dari kegembiraan seseorang di antara kamu sekalian yang berkendaraan di tengah-tengah padang pasir, kemudian hewan yang dikendarainya itu lari meninggalkannya. Padahal di atas punggung hewan itu terdapat makanan dan minuman orang itu. Kemudian ia berputus asa untuk dapat menemukannya kembali. Ia lantas berteduh di bawah pohon dengan membaringkan badannya, sedangkan ia telah benar-benar putus asa untuk dapat menemukan kembali hewan yang dikendarainya itu. Kemudian ia bangkit, tiba-tiba ia menemukan kembali hewan yang dikendarainya itu lengkap dengan bekal yang dibawanya. Kemudian ia segera memegang tali kekangnya seraya berkata karena saking gembiranya, 'Ya Allah, Engkau adalah hambaku dan aku adalah tuhan-Mu.' Ia keliru mengucapkan kalimat itu karena saking gembiranya."

Hari itu, rezekinya di dunia telah habis. Hamba itu kembali menghadap Tuhannya. Setelah lelah mencari obat demi kesembuhan penyakitnya. Ia meninggalkan sebait pelajaran berharga bagi keluarga yang ditinggalkannya. Raut wajahnya pun teduh dan tenang.

Rabi' bin Khutsaim rh. pernah berkata kepada para sahabatnya, "Apakah kalian tahu apa itu penyakit, obat dan kesembuhan?"

Mereka menjawab, "Tidak."

Beliau berkata, "Penyakit itu adalah dosa-dosa, obatnya adalah istighfar dan kesembuhannya adalah kamu bertaubat dan tidak mengulangi lagi."

Semoga itulah pertanda Allah menerima taubatnya.

Rabu, 13 Mei 2015

Ilmu Bukanlah Duri

Ilmu adalah pembeda. Dengannya, Allah meninggikan manusia beberapa derajat. Dalam ibadah pun, ilmu memegang peran yang sangat penting. Karena itulah, kita wajib menuntut ilmu sepanjang hidup kita di dunia.

Lantas, ilmu seperti apa yang dimaksud?

Sebelumnya, sejenak kita tengok fenomena yang terjadi dewasa ini. Dalam era digital kini, berbagai informasi dapat diperoleh dengan begitu mudahnya. Lalu, dengan informasi tersebut, sebagian dari kita menjadi begitu mudahnya memvonis salah dan benar terhadap sesuatu.

Ilmu bukanlah duri. Ia tidak menyakiti para pemetiknya. Ilmu adalah buah. Ilmu bukanlah sekedar informasi, jika tidak diamalkan, maka akan menjadi sebatas informasi semata.

Abdullah bin Mas'ud ra. berkata, "Ilmu bukan dengan banyaknya riwayat, tetapi ilmu adalah khasyyah (rasa takut kepada Allah)."

Malik bin Anas rh. berkata, "Ilmu itu tidak dengan banyaknya riwayat, tetapi ilmu adalah cahaya yang Allah letakkan di dalam hati."

Orang yang berilmu tidak mungkin membuat orang awam menjadi benci dan antipati kepadanya. Mereka mewakili agama Islam yang mereka bawa. Hal ini dikarenakan tata krama yang melekat padanya.

Abdullah bin Mubarak rh. berkata, "Hampir saja adab menjadi dua per tiga agama."

Dalam agama Islam, kedudukan orang berilmu (ulama) sangatlah mulia. Dalam kaitannya dengan ibadah, keduanya (ilmu dan ibadah) adalah pokok dan poros dari segala sesuatu.

Rasulullah saw. bersabda, "Sesungguhnya keutamaan seorang 'alim terhadap seorang ahli ibadah adalah seperti keutamaan diriku (Nabi) terhadap orang yang paling rendah kedudukannya dari umatku."

Dalam sebuah kesempatan, beliau saw. berkata kepada para sahabat, "Maukah aku tunjukkan kepada kalian penghuni surga yang paling mulia?"

Mereka (para sahabat) menjawab, "Ya, wahai Rasulullah."

Beliau bersabda, "Mereka itu adalah para ulama dari umatku."

Selanjutnya, Az-Zuhri rh. berkata, "Tidaklah Allah diibadahi dengan sesuatu yang lebih utama daripada ilmu."

Riwayat-riwayat tersebut menunjukkan pada intinya, ilmu itu lebih mulia dari sekedar ibadah tanpa ilmu. Akan tetapi, di samping mempelajari dan mengetahui ilmu, seorang hamba harus pula melakukan ibadah. Sebab, ilmu itu bagaikan batang sebuah pohon, sedangkan ibadah bagaikan buahnya.

Hasan Al-Bashri rh. pernah mengatakan, "Tuntutlah ilmu tanpa melalaikan ibadah. Dan taatlah beribadah tanpa lupa menuntut ilmu."

Rasulullah saw. bersabda, "Ilmu itu pemimpin bagi amal dan amal adalah pengikutnya."

Kini, jelaslah ilmu seperti apa yang membuat derajat hamba ditinggikan dan kedudukan ilmu dalam agama Islam serta kaitannya jika disandingkan dengan ibadah.

Dengan cermat, Ali bin Abi Thalib ra. menjelaskan kepada kita semua, "Ketahuilah, sesungguhnya orang fakih adalah orang yang tidak membuat manusia putus asa dari rahmat Allah; tidak membuat mereka merasa aman dari adzab-Nya; dan tidak terlalu memudahkan mereka untuk bermaksiat kepada-Nya; serta tidak meninggalkan Al-Qur'an karena benci dengan mencari selain Al-Qur'an. Tidak ada kebaikan di dalam ibadah yang tidak disertai dengan ilmu. Tidak ada kebaikan pada ilmu yang tidak disertai dengan pemahaman dan tidak ada kebaikan di dalam membaca yang tidak disertai dengan tadabbur."

Semoga Allah senantiasa mengaruniakan ilmu yang bermanfaat kepada kita semua.

Selasa, 12 Mei 2015

Sederhana

Begitulah, para ulama-ulama terdahulu memberikan teladan tentang sikap sederhana. Kesederhanaan tidak berarti lahir dari kemiskinan, kebodohan atau ketiadaan pangkat. Kesederhanaan justru lahir dari hati yang luas, bercahaya dan basah oleh rahmat Allah.

Kesederhanaan mereka menumbuhkan ketawadhu'an yang menancap dalam sanubari dan tercermin dari ucapan dan perilaku mereka.

Ali bin Husain rh. mencontohkan sikap tawadhu' dalam menuntut ilmu;

Ali bin Nafi' bin Jubair berkata kepada Ali bin Husain rh., "Anda adalah pemimpin manusia dan orang yang paling utama, tetapi mengapa Anda menemui budak ini, yakni Zaid bin Aslam, lalu Anda bermajelis dengannya?"

Ali bin Husain rh. menjawab, "Sudah seyogyanya ilmu dicari di manapun berada."

Lalu, kita pun tahu, tingkat kualitas keimanan Abu Bakar Ash-Shiddiq ra. Namun, beliau menyiratkan ketawadhu'an dalam ungkapannya ini;

Ja'far meriwayatkan, "Aku mendengar Abu Imran Al-Jauni berkata, Abu Bakar ash-Shiddiq ra. berkata, "Aku senang seandainya aku hanyalah sehelai rambut dari seorang hamba yang beriman.""

Umar bin Khaththab ra. juga meneladankan sikap tawadhu' dalam hal keilmuan. Walaupun beliau seorang pemimpin dan terpandang yang luas ilmunya, tetap saja hal itu tidak membuatnya tinggi hati;

Dari Ibnu Jad'an, bahwasanya Umar bin Khaththab ra. pernah mendengar seseorang berdo'a, "Ya Allah, jadikanlah aku termasuk golongan yang sedikit."

Lalu, Umar bertanya, "Wahai hamba Allah, apa maksud golongan yang sedikit?"

Dia menjawab, "Aku mendengar Allah berfirman, 'Dan tidak beriman bersama dengan Nuh itu kecuali sedikit (Hud: 40)', 'Dan sedikit sekali di antara hamba-hamba-Ku yang bersyukur (Saba': 13)'." Dan dia menyebutkan ayat-ayat lain yang terkait.

Maka Umar ra. pun berkata, "Ah, semua orang lebih fakih dari Umar."

Demikian pula dengan Utsman bin Affan ra. Saat beliau menjabat sebagai Amirul Mukminin, beliau tidak hanyut dalam kekayaan dan kepopuleran;

Dari Ja'far bin Burqan, Al-Hamdani berkata, "Aku pernah melihat Utsman bin Affan ra. sedang tidur di dalam masjid dengan selimut, tiada seorang pun di sekelilingnya, padahal beliau adalah Amirul Mukminin."

Berikut ini, seorang tabi'in, Bakar bin Abdullah Al-Muzanni rh. menjelaskan tentang ketawadhu'an secara rinci;

Dari Kinanah bin Jabal berkata, Bakar bin Abdullah rh. berkata, "Apabila kamu melihat orang yang lebih tua umurnya darimu, katakanlah, 'Orang ini telah mendahuluiku dengan keimanan dan amal shalih, maka dia lebih baik daripada aku.'

Apabila kamu melihat orang yang lebih muda umurnya darimu, katakanlah, 'Aku telah mendahuluinya dalam dosa dan maksiat, maka dia lebih baik daripada aku.'

Dan apabila kamu melihat saudara-saudaramu yang memuliakan dan mengagungkanmu, katakanlah, 'Ini adalah keutamaan yang mereka punyai.'

Sebaliknya, apabila kamu melihat mereka meremehkanmu, katakanlah, 'Ini adalah balasan dosa yang pernah aku lakukan'."

Seperti itulah potret teladan dari para ulama-ulama terdahulu. Mereka tidak silau terhadap kekuasaan, kekayaan, keluasan ilmu atau kepopuleran yang mereka miliki.

Untuk apa kita berbangga-bangga atas kebaikan atau kelebihan yang kita miliki?

Abdullah bin Mas'ud ra. memberikan nasehatnya;

"Barangsiapa yang menonjolkan dirinya lantaran sombong, niscaya Allah akan merendahkannya. Barangsiapa yang bersikap tawadhu' lantaran ketundukkannya, pasti Allah akan mengangkatnya."