Selasa, 12 Mei 2015

Sederhana

Begitulah, para ulama-ulama terdahulu memberikan teladan tentang sikap sederhana. Kesederhanaan tidak berarti lahir dari kemiskinan, kebodohan atau ketiadaan pangkat. Kesederhanaan justru lahir dari hati yang luas, bercahaya dan basah oleh rahmat Allah.

Kesederhanaan mereka menumbuhkan ketawadhu'an yang menancap dalam sanubari dan tercermin dari ucapan dan perilaku mereka.

Ali bin Husain rh. mencontohkan sikap tawadhu' dalam menuntut ilmu;

Ali bin Nafi' bin Jubair berkata kepada Ali bin Husain rh., "Anda adalah pemimpin manusia dan orang yang paling utama, tetapi mengapa Anda menemui budak ini, yakni Zaid bin Aslam, lalu Anda bermajelis dengannya?"

Ali bin Husain rh. menjawab, "Sudah seyogyanya ilmu dicari di manapun berada."

Lalu, kita pun tahu, tingkat kualitas keimanan Abu Bakar Ash-Shiddiq ra. Namun, beliau menyiratkan ketawadhu'an dalam ungkapannya ini;

Ja'far meriwayatkan, "Aku mendengar Abu Imran Al-Jauni berkata, Abu Bakar ash-Shiddiq ra. berkata, "Aku senang seandainya aku hanyalah sehelai rambut dari seorang hamba yang beriman.""

Umar bin Khaththab ra. juga meneladankan sikap tawadhu' dalam hal keilmuan. Walaupun beliau seorang pemimpin dan terpandang yang luas ilmunya, tetap saja hal itu tidak membuatnya tinggi hati;

Dari Ibnu Jad'an, bahwasanya Umar bin Khaththab ra. pernah mendengar seseorang berdo'a, "Ya Allah, jadikanlah aku termasuk golongan yang sedikit."

Lalu, Umar bertanya, "Wahai hamba Allah, apa maksud golongan yang sedikit?"

Dia menjawab, "Aku mendengar Allah berfirman, 'Dan tidak beriman bersama dengan Nuh itu kecuali sedikit (Hud: 40)', 'Dan sedikit sekali di antara hamba-hamba-Ku yang bersyukur (Saba': 13)'." Dan dia menyebutkan ayat-ayat lain yang terkait.

Maka Umar ra. pun berkata, "Ah, semua orang lebih fakih dari Umar."

Demikian pula dengan Utsman bin Affan ra. Saat beliau menjabat sebagai Amirul Mukminin, beliau tidak hanyut dalam kekayaan dan kepopuleran;

Dari Ja'far bin Burqan, Al-Hamdani berkata, "Aku pernah melihat Utsman bin Affan ra. sedang tidur di dalam masjid dengan selimut, tiada seorang pun di sekelilingnya, padahal beliau adalah Amirul Mukminin."

Berikut ini, seorang tabi'in, Bakar bin Abdullah Al-Muzanni rh. menjelaskan tentang ketawadhu'an secara rinci;

Dari Kinanah bin Jabal berkata, Bakar bin Abdullah rh. berkata, "Apabila kamu melihat orang yang lebih tua umurnya darimu, katakanlah, 'Orang ini telah mendahuluiku dengan keimanan dan amal shalih, maka dia lebih baik daripada aku.'

Apabila kamu melihat orang yang lebih muda umurnya darimu, katakanlah, 'Aku telah mendahuluinya dalam dosa dan maksiat, maka dia lebih baik daripada aku.'

Dan apabila kamu melihat saudara-saudaramu yang memuliakan dan mengagungkanmu, katakanlah, 'Ini adalah keutamaan yang mereka punyai.'

Sebaliknya, apabila kamu melihat mereka meremehkanmu, katakanlah, 'Ini adalah balasan dosa yang pernah aku lakukan'."

Seperti itulah potret teladan dari para ulama-ulama terdahulu. Mereka tidak silau terhadap kekuasaan, kekayaan, keluasan ilmu atau kepopuleran yang mereka miliki.

Untuk apa kita berbangga-bangga atas kebaikan atau kelebihan yang kita miliki?

Abdullah bin Mas'ud ra. memberikan nasehatnya;

"Barangsiapa yang menonjolkan dirinya lantaran sombong, niscaya Allah akan merendahkannya. Barangsiapa yang bersikap tawadhu' lantaran ketundukkannya, pasti Allah akan mengangkatnya."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar